Popular Posts
-
Karangan ini saya buat berdasarkan apa yang saya ketahui dan apa yang saya dapatkan di bangku perkuliahan Fakultas Hukum Universitas ...
-
Suatu wacana yang menarik ketika kita mengkaji filosof dan ilmuwan. Apakah filosof (ahli filsafat ilmu) dan ilmuwan i...
-
Ketika Wortley, mengemukakan bahwa : “ Jurisprudence is the knowledge of law in its various forms and manifestations ” ...
-
Suatu hal yang menarik ketika kita mengkaji, dengan dibentuknya beberapa komisi-komisi negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantas...
-
Berbicara mengenai kriminologi, otomatis tidak lepas dari pembahasan masalah kejahatan dan merupakan salah satu ilmu pemb...
-
Apakah kita hidup di dunia ataukah kita diciptakan di muka bumi ini dengan tujuan atau perspektif kita terhadap diri kita bahwa d...
-
Apakah segala bentuk perbuatan atau tindakan warga Negara menjadi terbatas (kaku) dengan adanya suatu aturan hukum, ...
-
Untuk memahami apa itu filsafat, mari kita lihat pendapat-pendapat para ahli tentang pengertian filsafat : 1. Plato (427 SM...
-
Berbicara mengenai konsep kekinian, tentu manusia tidak terlepas dari apa yang dibutuhkan atau yang dinginkannya yaitu belajar. Apa...
-
Hidup yang terpahami adalah kematian yang sesungguhnya, dan kematian yang terpahami adalah awal dari langkah untuk memulai...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Blog Archive
Kategori
- Agama ( 6 )
- Hukum & Sosial ( 13 )
- Logika & Filsafat ( 10 )
- Motivasi ( 5 )
- Puisi ( 2 )
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
Senin, 03 Februari 2014
Apakah segala
bentuk perbuatan atau tindakan warga Negara menjadi terbatas (kaku) dengan
adanya suatu aturan hukum, yang dimana cita-cita hukum adalah menciptakan
ketertiban masyarakat ataukah aturan hukum justru akan memperhambat jalannya
suatu ketertiban masyarakat dikarenakan adanya batasan-batasan terhadap
perilaku-perilaku individu maupun masyarakat? Karena pada dasarnya manusia
adalah makhluk yang bebas dari segala hal dalam hal ini disebut sebagai
intervensi dan pengejawantahannya terjuwud dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Nah,
untuk menentukan suatu perbuatan atau tindakan tersebut salah/melanggar hukum
(dalam bahasa hukumnya=tersangka) dengan menggunakan inti, rasio daripadanya
(tidak berpegang pada aturan yang ada) ataukah berpegang pada bunyi suatu
aturan yang semua kata-katanya dituruti?
Di dalam ruang lingkup akademisi hukum yang menyangkut dengan suatu Negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yaitu Negara Indonesia dan lebih jelasnya terletak dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 bahwa “Indonesia adalah Negara hukum”. Lalu, hukum apakah yang dimaksud dalam UUD 1945 tersebut? Apakah hukum tertulis? Ataukah hukum itu harus sesuai dengan suatu kebiasaan masyarakat (tidak tertulis)? Dan perlu diketahui bahwa hukum itu bersifat empiris (indra).
Berangkat dari klausul yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah Negara hukum” maka, yang menjadi pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis; berdasarkan pernyataan bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dan ini sebagai dalil yang kuat mengenai pertanggung jawaban pidana atas perbuatan yang telah dilakukannya yang disebut dengan criminal responsibility atau criminal liability.
Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri disebut dengan criminal act yang berbeda dengan pertanggung jawaban pidana dan dasar inilah yang disebut asas legalitas (principle of legality) yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana jika tidak ditentukan atau tidak disebutkan dalam perundang-undangan. Bahasa latinnya adalah nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu yang berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum Jerman (1775-1833) dalam rumusannya berbentuk pepatah Latin tadi dalam bukunya; Lehrbuch des peinlichen Recht (1801).
Dan perumusan asas legalitas tersebut itu kemudian dihubungkan dalam teorinya Von Feurbach juga bahwa “vom psycholigischen Zwang” yaitu menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan, dengan maksud bahwa siapa pun yang telah melakukan perbuatan pidana mengetahui larangan lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkannya kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan dan dengan demikian secara psikologis sudah ada tekaan untuk tidak berbuat. Dan kalaupun individu telah melakukan perbuatan yang dilarang, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Hal ini hukum diciptakan bukan untuk menciptakan ke-kaku-an dan bukan juga kebebasan (free will), akan tetapi asas legalitas tersebut mengandung makna sebagai jalan tengah (tidak memihak) antara kaku dan kebebasan agar individu atau masyarakat mendapatkan sebuah ketertiban yang berhubung dengan lancarnya pembangunan nasional (secara teoritis). Karena kalau dalam sebuah Negara menjunjung kebebasan yang sebebas bebasnya maka justru Negara tidak mendapatkan sebuah ketentraman diakibatkan hukum tidak diciptakan melalui sesuatu yang tertulis dan begitupun kalau sebuah Negara hanya sebuah aturan saja maka yang ada adalah dalam mengambil sebuah keputusan yaitu hakim hanyalah terompet undang-undang (menurut prof.achmad ali). Makanya penafsiran terhadap undang-undang tersebut dibutuhkan dalam mengkaji dan menganalisis suatu perbuatan dan tindak pidana dalam hal penjatuhan pemidanaan (pasal 10 KUHP) sebagai pembalasan menurut Von Feurbach.
Asas legalitas mengandung 3 pengertian, yaitu :
1.
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
undang-undang, di dalam teks Belanda disebutkan “wettelijke strafbepaling”
yaitu aturan pidana dalam perundangan.
2.
Untuk menggunakan adanya perbuatan pidana tidak
boleh menggunakan analogi (kias). Walaupun pada umumnya pernyataan tersebut
masih dipakai oleh kebanyakan Negara-negara. Di Indonesia dan Belanda, masih
mengakui prinsip ini, meskipun juga ada beberapa sarjana yang tidak dapat
menyetujuinya misalnya Taverne,Pompe dan Jonkers. Prof.scholter menolak adanya perbedaan
antra analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata dibolehkan dan
menurutnya dalam hal tafsiran maupun ekstensif dasarnya adalah sama, yitu
dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum/abstrak) dari
norma yang ada. Lalu didedusir menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya
meluaskan aturan yang ada), dan antara keduanya itu hanya ada perbedaan gradual/gradasi
saja.
Contoh dari tafsiran ekstensif adalah
putusan HR Negeri Belanda tahun 1921 dimana ditentukan mengenai benda dan barang
dalam pasal 362 KUHP (pasal tentang pencurian) juga meliputi daya listrik
secara tidak sah itu dapat dikenai pasal 362 KUHP tersebut.
Dan pendapat ini pun disetujui oleh
Prof.Van Hattum dalam bukunya Handen leerboek van het Ned. Strafrecht. 1953. Akan
tetapi beliau menolak analogi dalam menentukan perbuatan pidana dan juga
menolak tafsiran ekstensif. Dan menurut Prof. Moeljatno dalam karyannya menyatakan
bahwa, apakah dalam pencurian daya listrik itu dianggap sebagai suatu benda dan
barang karena tafsiran ekstensif atapun karena peralihan makna dari kata goed (benda&barang), itu hanyalah
berlainan kta-kata saja. Yang terang adalah pada waktu wetboek van strafhrecht
dibentuk hanya bermakna sebaga barang berwujud saja, sedangkan maknanya pada
masa sekarang juga meliputi barang yang tidak berwujud. Dan analogi maupun
ekstensif itu perlu dengan batasan yang jelas, yaitu sampai dimana yang masih
dapat dikatakan sebagai interpretasi dan manakah yang sudah meningkat ke
analogi, sehingga tidak diperbolehkan. Maksudnya adalah dalam pandangan hakim
seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang
ada, yang mengenai perbuatan yang mirip dengan itu. Karena termasuk dalam inti
suatu aturan yang ada, maka perbuatan tersebut dapat dikenai dengan yang
tertulis dengan menggunakan analogi. Jadi sesungguhnya jika digunakan analogi,
yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan tertentu,
bukanlah dari apa yang tertulis, tetapi rasio inti dan aturan yang ada, sesuai
dengan pengaturan tentang kekuasaan kehakiman terbaru adalah UU No. 48 Tahun
2009. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan: “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
3.
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Label:
Hukum & Sosial
|
0
komentar
Sabtu, 01 Februari 2014
Untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA INDONESIA, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Pancasila.
Begitulah bunyi alinea keempat
yang tertuang dalam UUD 1945. Yang dimana, alinea ketiga menegaskan dengan adanya ”kemerdekaan”, pernyataan kemerdekaan itu
dilanjutkan dengan tekad untuk membangun sebuah kedaulatan rakyat atau demokrasi
dengan 4 point penting, yaitu :
-
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah
darah Indonesia,
-
Memajukan kesejahteraan umum,
-
Mencerdaskan kehidupan bangsa,
-
Dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan (freedom),
perdamaian abadi (eternal peace) dan
keadilan sosial (social justice).
Perubahan UUD 1945 merupakan salah
satu tuntutan rakyat yang menjadi sebuah dasar bahwa secra historis, dari
gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru hanya pada
manusia sebagai yang sebagai subjek hukum, dikarenakan kelemahan sistem hukum
dan ketatanegaraan Indonesia. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam konstitusi
sebagai hasil karya manusia adalah suatu
hal yang objektif. Mengapa? Soekarno pun pernah menyampaikan sebuah gagasan
bahwa “Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa undang-undang dasar yang (kita)
buat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya
memakai perkataan: “ini adalah undang-undang dasar kilat. “Nanti, kalau kita
telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali majelis perwakilan rakyat yang dapat membuat undang-undang
dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.” Lihat, Muhammad Yamin, Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959)
halaman 410. Pada rapat pertama PPKI Soekarno menyatakan hal tersebut tanggal
18 Agustus 1945 tentang kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945. Dengan kemungkinan-kemungkinan
atau keraguan tersebut maka pasal II aturan peralihan pun menegaskan bahwa “segala badan Negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
undang-undang” sebelum perubahan pertama UUD 1945.
Gagasan perlunya perubahan UUD
1945 sesungguhnya telah dijewantahkan sejak masa awal Orde Baru. Harun Alrasyid
misalnya, melalui tulisannya yang dimuat di harian Merdeka tanggal 18 Maret 1972 menekankan perlunya constitutional reform karena UUD 1945 kurang
sempurna atau bahkan salah. UUD 1945 dipandang terlalu summier, terlalu banyak
masalah-masalah yang diserahkan kepada pembuat peraturan yang lebih rendah,
serta tidak menjamin secara tegas tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Gagasan
Harun Alrasyid tersebut menunjukkan bahwa secara akademis pandangan tentang perlunya
perubahan UUD 1945 telah ada karena melihat sejumlah kelemahan yang dapat menimbulkan
pemerintahan yang tidak demokratis, serta masalah sifat kesementaraan UUD 1945.
Namun berbagai gagasan perubahan UUD 1945 selalu berbenturan dengan kehendak
politik penguasa untuk melestarikan otoritarian dengan legitimasi UUD 1945.
Berangkat dari hal tersebut, maka
perubahan UUD 1945 tersebut sangatlah urgen, mengapa? Karena dalam hal ini
dengan kelemahan tersebut Negara menjadi penyebab tidak demokratisnya Negara Indonesia
dalam menggunakan UUD 1945. Mahfud menyebutkan kelemahan-kelemahan tersebut
diantaranya yaitu;
1.
UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi porsi
yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya mekanisme checks and
balances yang memadai.
2.
UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan
delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan
UU maupun dengan Peraturan Pemerintah.
3.
UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau
multi-tafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, akan tetapi
tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden.
4.
UUD 1945 lebih mengutamakan semangat
penyelenggara negara daripada sistemnya.
Gagasan perubahan UUD 1945 kembali
muncul dalam perdebatan pemikiran ketatanegaraan dan menemukan momentumnya di era reformasi. Pada
awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat
Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut
menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan
mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
Secara filosofis, setelah
perubahan kondisi ketatanegaraan sudah jauh lebih baik daripada saat Orde Baru
dahulu, namun hanya dalam konsep ideal dan tidak berjalan sebagaimana harusnya.
Secara sosiologis, pemilu 2009-2014 yang menghasilkan banyak wakil rakyat yang
hampir 70% menguasai kursi DPR dari partai-partai koalisi. Sederhananya dengan
70% partai koalisi menguasai DPR, apakah fungsi DPR akan berjalan dengan baik,
khususnya bidang pengawasan (pasal 20A ayat 1 UUD 1945)? Sebagai contoh,
pertengahan 2007 kasus lumpur lapindo yang hak interpelasinya (pasal 20A ayat 2)
“pasif” dan bagi para pengusul, berlarut-larut penanganan pemerintah terhadap
kasus lumpur Lapindo dapat dipandang sebagai pelanggaran atas
ketentuan-ketentuan HAM dalam UUD 1945. Mereka menyebutkan dasar yuridis pasal
28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.” Kerangka politik secara status quo yang akan membuat DPR menjadi garuda
bertopeng sebab fakta empiris menunjukkan bahwa hanya beberapa partai
yang memang tidak berkoalisi dengan partai pemerintah. Antony Giddens, seorang
pemikir sosial di awal tahun 1990-an , dalam karyanya yang berjudul The Transformation of Intimacy,
menegaskan bahwa sebuah keintiman harus menunjukkan kualitas-kualitas
demokratik.
Jadi kesimpulannya, eksistensi
koalisi yang menguasai lebih dari setengah anggota dewan DPR perlu diteliti
karena berimplikasi ke arah pelemahan fungsi DPR secara status quo, sehingga legislative heavy adalah topeng dari executive heavy (yang salah satu kelemahan UUD 1945 sebelum
perubahan, gagasan mahfud) yang terbungkus rapi dengan kontrak politik para
partai koalisi.
Jika
cinta itu sebuah kebenaran, maka cinta haruslah terkonstitusikan. Bukan konstitusi
yang harus dideklarasikan secara tertulis, tetapi konstitusi yang
dideklarasikan dalam hati kita sebagai warga Negara Indonesia. Dan konstitusi
paling lembut, tertulis dengan darah yang mengalir dari jiwa yang paling dalam.
Salam konstitusi!
Label:
Hukum & Sosial
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)