Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Rabu, 26 Maret 2014



                Suatu wacana yang menarik ketika kita mengkaji filosof dan ilmuwan. Apakah filosof (ahli filsafat ilmu) dan ilmuwan itu berbeda ataukah sama? Kalaupun sama, apakah filosof dan ilmuwan mempunyai kesamaan secara keseluruhan atau sebagian? Dan kalaupun beda, dari segi apa para filosof dan ilmuwan mempunyai perbedaan? Kemudian, bagaimana para filosof mengkaji sesuatu dan para ilmuwan mengkaji sesuatu?
                Berbicara megenai filosof dan ilmuwan identik dengan memperbincangkan masalah teori. Istilah teori dalam kamus memiliki variasi yang begitu luas cakupannya. Contohnya, detektif swasta dalam televisi mempunyai suatu ‘teori’ tentang kasus pembunuhan yang belum terungkap. Seperti istilah yang digunakan detektif, teori menunjukkan dugaan, perkiraan (hipotesis). Sebagian mahasiswa yang menganggap teori sebagai lawan dengan pelajaran lain yang sifatnya praktis dan relevan. Menurut mereka yang dengan menggunakan kata-kaa klise, “itu dapat dilakukan dalam teorinya, kan tetapi dalam prakteknya tidak akan berhasil.” Dan teori pula dapat diartikan sebagai renungan atau perkiraan tentang suatu fenomena yang memusingkan kepala.
                Ernest Nangel sebagai salah seorang tokoh terkemuka yang telah mengemukakan tentang apa yang disebut dengan received view yang dikarenakan suatu alasan yag dilengkapi dengan keterbatasan satu-satunya alternatif yang lain, yang disebut dengan anggapan umum biasanya tidak tepat dan tidak konsisten sehingga pilihan untuk meyakini kesamaan di antara berbagai fenomena, perbedaan atau dalam salah satu di antara keyakinan yang saling bertentangan hanya semata dibuat-buat dan tanpa pedoman yang rasional. Maksudnya adalah suatu anggapan umum yang penekanannya hanya kepada pengalaman biasa setiap hari. Karena anggapan umum berasal dan diterapkan secara langsung kepada masalah-masalah yang sifatnya praktis, maka rentang daya gunanya tidaklah menjangkau lebih dari hal-hal yang rutin dari pengalaman setiap hari, yang dimana penekanannya cenderung menyebabkan pengetahuan kita mandeg (stagnasi) dan menjadi kaku dalam berfikir yang tidak dapat dihindari. Dan ketika hal tersebut menjadi kaku, maka pengetahuan semacam itu lalu menjadi kebiasaan dan tradisional (menjadi suatu kelaziman) sehingga untuk menghadapi problema atau situasi sosial yang sebelumnya belum pernah dihadapi menjadi rusak.
                Para filosof (ahli filsafat) di bidang ilmu, harus diingat bukanlah ilmuwan dan mereka pun tidak pernah menyatakan dirinya sebagai ahli dalam setiap bidang ilmu dengan cara yang a priori, apa yang harus dilakukan. Mereka adalah ahli filsafat yang mengkaji masalah filosofis yang berhubungan dengan perkembangan teoritis secara umum dan perkembangan teori ilmiah dari suatu disiplin ilmu secara partikulir (khusus). Untuk bidang pengetahuan tertentu ahli filsafat dapat mengorganisasi dan mensistematiskan pengetahuan dalam kerangka pengetahuan yang ada dalam teoritis dan menjelaskan prinsip ilmiah yang telah dikonfirmasi/diterima secara luas dan menelusuri perkembangan historis dari prinsip tersebut.
                Seketika Robson sebagai salah satu ahli sosiologi, merumuskan kembali kata Lakatos (seorang filsafat ilmu) bahwa sumbangan filsafat ilmu adalah “seakan mengatakan kepada para ilmuwan apa yang telah mereka lakukan dan mengpa mereka melakukannya setelah mereka melaksanakannya. Dan para filosof sendiri tanpa terpecah-pecah dalam hal nasihat apa dan penyuluhan apa yang selayaknya mereka berikan kepada kita.”
                Para ilmuwan mungkin saja telah mendeduksinya secara logis dari seperangkat aksioma dan sekarang ia memiliki suatu kebenaran baru yang sifatnya potensial atau mungkin telah mencetuskan hipotesis itu dari studi penelitian terdahulu menghasilkan sebuah hasil yang tidak terduga sebelumnya atau hasil sekilas. Penggambaran tradisional penelitian ilmiah dinamakan sebagai penghampiran hypothetico-deductivism (hipotesis-deduktivisme/umum ke khusus) yang terbagi dalam 2 macam, yakni; fase perumusan hipotesis dan fase pengujiannya. Dan para filosof mengatakan “suatu kesimpulan yang benar dari suatu argumen deduktif (umum ke khusus) harus benar jika premis-premis  yang digunakan juga benar.”
                Dengan cara itulah deduktif ditegakkan. Jika hipotesis (H) benar, maka prediksi (P) merupakan efek juga juga benar. Dan efek yang diramalkan telah teramati. Masalah dalam usaha mengkonfirmasi hipotesis secara langsung merupakan masalah formal dalam hukum logika bersyarat (jika...maka). Bentuk yang langsung, yaitu:
Hipotesis>Prediksi                           (jika H, maka P)
Prediksi                (P)                       (P = teramati/sebagai akibat)
maka Hipotesis (H)                          (H dapat diterima)
                Bentuk deduksi di atas melakukan kesalahan pada waktu menegaskan akibat (P). Yang secara logis maka tidak akan ada kesimpulan yang benar dapat ditarik. Karena alasan itulah maka prediksi itu dinyatakan dalam bentuk “nol”, yang secara khusus memprediksi tidak ada pengaruh yang berbeda. Maka, observasi berusaha mengingkari akibat nol itu (tidak ada pengaruh) sehingga demikian akan memperkuat hipotesis secara tidak langsung.
                Jadi bentuk deduktif dari eksperimen tertentu mengambil bentuk sebagai berikut. Jika hipotesis itu tidak benar (-H) maka perbedaan yang diprediksi tida akan diharapkan (-P). Observasi lalu ditujukan untuk mencari fakta untuk menolak keadaan tanpa perbedaan itu (-P), dengan cara itu dapat diingkari kesalahan hipotesis. Bentuk negatif ganda dari logika deduktif atas eksperimen menjadi:
- H  > -P                                (jika tidak –H, maka tidak –P)
-        (-P)                               (observasi menolak prediksi nol)
Maka H                                  (Hipotesis diterima secara indirect / tidak langsung)
Tujuan dari penjelasan yang diatas secara sederhana adalah untuk memperlihatkan bahwa jika hipotesis dikonfirmasikan dalam kerangka kerja hipotetiko-deduktif, sistem logika yang diterapkan adalah deduktif secara ekslusif yang dimana hipotesis itu tidak secara langsung  teramati atau dikonfirmasikan. Akan tetapi, ia lebih dianggap ada setelah usaha enyalahkan hipotesis gagal/negatif ganda. Model hipotetiko dalam pengolahan ilmu secara jelas menempatkan penekanan yang bersar terhadap justifikasi. Dan para filosof ilmu yang tradisional, agak mengabaikan problem ini secara ceroboh dengan mengemukakan tiadanya logic of discovery (logika penemuan).
Bila awan gelap yang menutupi semua itu reda, kita masih saja tinggal dalam posisi tidak lebih banyak daripada sekumpulan generalisasi dan hipotesis setengah pasti yang diperoleh dari penelitian. #para filosof

0 komentar: