Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Rabu, 26 Maret 2014



                Sesuatu yang sesungguhnya adalah ketika sesuatu itu bertemu dengan kemusnahan kecuali Sang Pencipta Sesuatu (Maha Pencipta mengakibatkan Diri-Nya menjadi Maha Kekal). Hari-hari yang telah manusia lewati yang pada hakikatnya adalah ketika kegelapan itu suatu saat akan bertemu dengan ke-terang-an , ketika malam dan siang itu bertemu, hujan dan panas itu bertemu dalam sehari dan laki2 dan perempuan (semua diciptakan berpasang-pasangan). Adakah manusia yang sebagai ciptaan akan mengatakan bahwa bumi dan seisinya ini tidak seimbang?
                Satu hal yang sangat tidak asing lagi pada daun telinga manusia ketika mendengar suatu kalimat yang menyatakan bahwa “TIDAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA”, yang dimana pada realitasnya mungkin manusia itu berbicara kepada diri sendiri (merenung) ataukah berinteraksi dengan manusia lainnya. Kalau asumsinya seperti yang manusia katakan tadi, maka tidak ada satupun manusia yang pernah, sekarang atau akan hidup di muka bumi ini terlahir sebagai manusia sempurna. Berarti konklusinya adalah tidak ada yang menjadi standar/tolak ukur manusia sempurna dan hanya Tuhan yang Sempurna karena Dia Maha Sempurna.
                Kekeliruan itulah yang manusia konsepsikan di dalam pikirannya sebagaimana dalam teori dialektika hegel (ide mempengaruhi materi), sehingga terjadi sebuah pergeseran paradigma terhadap diri sendiri dan sekitarnya. Ketika paradigma bergeser maka konsekuensinya adalah tingkah laku manusia pun akan bergeser dikarenakan tidak ada manusia yang sempurna dan tidak ada tolak ukur manusia yang sempurna yang kemudian dengan sebuah kesimpulan bahwa manusia itu hidup tidak memiliki tujuan.
1.       Akankah manusia hidup tanpa tujuan?
2.       Akankah suatu ciptaan (manusia) tidak memiliki tolak ukur?
3.       Akankah manusia itu stagnan dalam bertingkah laku/mengkritik/gosip untuk sebuah pembenaran terhadap hakikat manusia?

Manusia yang menulis pun tentu memiliki tujuan dan sebab-akibat sehingga mengapa dia menulis. Yang dimana penulis tersebut lahir dari kedua orang tua dan pasangan manusia yang pertama kali adalah Nabi Adam As dan Hawa yang sebagai ciptaan dari Sang Sebab Awal (Tuhan). Dan salah satu tujuannya adalah membagi ilmu pengetahuan karena semua Milik-Nya dan ciptaan-Nya dan dikarenakan ilmu pengetahuan mempunyai sumbangsih terhadap peradaban manusia. Kalaupun Tuhan menciptakan manusia itu tanpa tujuan berarti ada suatu hal yang gugur Dari-Nya bahwa Dia bukan segalanya, Dia tidak bijaksana. Apakah Tuhan masih disebut Tuhan ketika dia tidak bijaksana? Tentu tidak.
Ketika manusia itu telah diciptakan memiliki tujuan dan karena Tuhan Maha Penyayang maka sebagai konsekuensi logis adalah Tuhan menunjuk/memilih seorang manusia sebagai tolak ukur terhadap manusia lainnya (keturunan) yaitu Nabi Muhammad SAW. Karena dia tidak pernah salah maka dia disebut sebagai manusia sempurna. Kalaupun dia pernah salah berarti Tuhan telah menunjuk/memilih manusia yang salah sebagai contoh. Akankah Tuhan melakukan penunjukan yang salah? Jawabannya; mustahil. Namun, apakah kemudian kita tidak dapat mencontohi Nabi Muhammad? Mungkin jawabannya “Nabi dan manusia itu berbeda”. Apakah Nabi itu bukan manusia? Dan ketika dia sebagai manusia sempurna akankah manusia yang lainnya tidak akan sempurna? Nabi secara fisik disebut sebagai manusia, tapi secara pengetahuan dan jiwa tentu berbeda, tetapi bukan berarti manusia lainnya tidak dapat mengikutinya. Karena Nabi Muhammad hadir untuk menjawab tantangan zaman. Namun, apakah dengan hadirnya Nabi Muhammad sebagai teladan, manusia yang lainnya tidak dapat melakukan perubahan dalam diri yang akan mempengaruhi di sekitarnya? Secara logis jawabannya adalah potensial.
Frasa potensial tidak dapat ditafsirkan atau disamakan dengan stagnan/tidak mungkin. Pada hakikatnya berbicara potensial tentu akan mengarah kepada sesuatu yang berkembang jika dikembangkan dan menurun jika tidak dikembangkan. Jadi, manusia itu secarap otensial dapat menjadi sempurna dan juga secara potensial dapat menjadi semakin tidak sempurna berdasarkan tingkatan kesempurnaan. Dan fitrah manusia, pada hakikatnya adalah mencari kebenaran untuk menuju kesempurnaan.

1 komentar:

FLOW mengatakan...

menarik. Kunjungi juga http://www.triwardanamokoagow.blogspot.com/2013/09/manusia-mahluk-2-dimensi.html dan http://www.triwardanamokoagow.blogspot.com/2013/11/filsafat-kenabian_8.html