Popular Posts
-
Karangan ini saya buat berdasarkan apa yang saya ketahui dan apa yang saya dapatkan di bangku perkuliahan Fakultas Hukum Universitas ...
-
Suatu wacana yang menarik ketika kita mengkaji filosof dan ilmuwan. Apakah filosof (ahli filsafat ilmu) dan ilmuwan i...
-
Ketika Wortley, mengemukakan bahwa : “ Jurisprudence is the knowledge of law in its various forms and manifestations ” ...
-
Suatu hal yang menarik ketika kita mengkaji, dengan dibentuknya beberapa komisi-komisi negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantas...
-
Berbicara mengenai kriminologi, otomatis tidak lepas dari pembahasan masalah kejahatan dan merupakan salah satu ilmu pemb...
-
Apakah kita hidup di dunia ataukah kita diciptakan di muka bumi ini dengan tujuan atau perspektif kita terhadap diri kita bahwa d...
-
Apakah segala bentuk perbuatan atau tindakan warga Negara menjadi terbatas (kaku) dengan adanya suatu aturan hukum, ...
-
Untuk memahami apa itu filsafat, mari kita lihat pendapat-pendapat para ahli tentang pengertian filsafat : 1. Plato (427 SM...
-
Berbicara mengenai konsep kekinian, tentu manusia tidak terlepas dari apa yang dibutuhkan atau yang dinginkannya yaitu belajar. Apa...
-
Hidup yang terpahami adalah kematian yang sesungguhnya, dan kematian yang terpahami adalah awal dari langkah untuk memulai...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Kategori
- Agama ( 6 )
- Hukum & Sosial ( 13 )
- Logika & Filsafat ( 10 )
- Motivasi ( 5 )
- Puisi ( 2 )
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
Kamis, 17 Juli 2014
Pergerakan mahasiswa menjadi multitafsir terhadap yang dimaksud dengan idealisme terhadap dunia post-modernisme ini yang mendarah daging dalam jiwa idealisme mahasiswa yaitu bebas nilai terhadap kejadian yang terjadi.
Secara universal, perlu dikatakan bahwa mahasiswa dan bukan mahasiswa adalah manusia itu sendiri, dimana mahasiswa haruslah memahami manusia secara universal melalui fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia. Menurut Murtada Muthahhari (pemikir dari Iran) bahwa fitrah manusia itu memiliki 2 fitrah yaitu fitrah menalar (akal) dan fitrah merasa (hati).
Terkadang mahasiswa menggunakan fitrah menalar (analisis) sampai lupa dengan fitrah merasa (hati) terhadap masyarakat atau publik dan inilah disebut dengan idealisme kiri. Juga ada mahasiswa yang menggunakan fitrah merasa (hati) sampai lupa terhadap fitrah menalar (akal) terhadap penalaran masyarakat/publik yang mengakibatkan pergerakan mahasiswa menjadi luntur. Hal yang sangat cenderung mempengaruhi dunia kemahasiswaan adalah terbentuknya pemikiran yang konsumtif diakibatkan produk-produk yang memerangi alam bawah sadar masyarakat modern yang sesuai dengan bahasa Antonio Gramsci yang disebut dengan hegemoni (penyerangan alam bawah sadar). Maksudnya adalah mahasiswa cenderung memiliki penyakit untuk berpikir bagaimana kemudian dapat memiliki produk, sehingga ketika semakin banyak produk yang dimiliki mahasiswa maka mahasiswa akan semakin disibukkan untuk merawat produk yang dimiliki sehingga mengurangi waktu untuk berpikir terhadap perubahan zaman, misalnya penyelewengan kekuasaan, kezaliman terjadi di suatu daerah tertentu. Dan hal ini juga menjadi penyebab lunturnya gerakan mahasiswa sekarang ini. Akankah mahasiswa membiarkan kezaliman ini terus terjadi? sebagaimana seseorang membutuhkan payung ketika hujan terjadi, sebagaimana itu pula manusia merindukan akan adanya keadilan yang hakiki dan mahasiswa memiliki amanah untuk itu dalam artian perubahan zaman dari kezaliman menuju keadilan.
Meminjam dari bahasa seorang pemikir yang bernama Erich Fromm bahwa penyakit manusia modern adalah manusia disibukkan untuk bagaimana kemudian untuk dapat dicintai sehingga lupa akan cara bagaimana kita dapat mencintai sesuatu. Misalnya dalam dunia keperempuanan disibukkan dengan dunia-dunia kosmetik dan laki-laki disibukkan dengan dunia style (gaya hidup yang sesuai dengan produk yang ada). Sehingga, tolak ukur pergaulan mahasiswa cenderung kepada produk apa yang kita miliki.
Tidak ada yang salah dalam dunia modern ini dikarenakan dunia modern atau perkembangan teknologi adalah sesuatu yang pasti terjadi, tapi bagaimana kemudian mahasiswa tidak kehilangan nilai yang dipikulnya salah satunya adalah sebagai penggerak perubahan. akankah mahasiswa membiarkan kezaliman yang mendarah daging di negara ini?
Kemudian yang menjadi permasalahan adalah pergerakan mahasiswa tidak lagi disertai dengan gerakan cinta dalam artian mahasiswa haruslah memahami nilai kemahasiswaan disertai dengan cara-cara yang modern atau sesuai dengan zaman dan perlunya mahasiswa untuk menganalisis zaman untuk menjawab pergerakan mahasiswa. Cara untuk memberi sesuatu itu melalui perkembangan zaman (budaya) dan nilai (tujuan) yang akan disampaikan dari segi kemahasiswaan itu tidak pernah berubah. Ketika mahasiswa sudah memiliki nilai apa yang akan dicapai melalui sejarah, maka diperlukan juga mengenali budaya untuk memiliki metode atau cara untuk mahasiswa menyampaikan nilai kemahasiswaan, maka pada saat itulah pergerakan cinta terjadi yaitu pergerakan yang memahami nilai kemahasiswaan dan memahami zaman yang disebut tantangan pergerakan cinta.
Label:
Logika & Filsafat
|
0
komentar
Rabu, 26 Maret 2014
Sesuatu yang sesungguhnya adalah
ketika sesuatu itu bertemu dengan kemusnahan kecuali Sang Pencipta Sesuatu
(Maha Pencipta mengakibatkan Diri-Nya menjadi Maha Kekal). Hari-hari yang telah
manusia lewati yang pada hakikatnya adalah ketika kegelapan itu suatu saat akan
bertemu dengan ke-terang-an , ketika malam dan siang itu bertemu, hujan dan
panas itu bertemu dalam sehari dan laki2 dan perempuan (semua diciptakan berpasang-pasangan).
Adakah manusia yang sebagai ciptaan akan mengatakan bahwa bumi dan seisinya ini
tidak seimbang?
Satu hal yang sangat tidak asing
lagi pada daun telinga manusia ketika mendengar suatu kalimat yang menyatakan
bahwa “TIDAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA”, yang dimana pada realitasnya mungkin
manusia itu berbicara kepada diri sendiri (merenung) ataukah berinteraksi
dengan manusia lainnya. Kalau asumsinya seperti yang manusia katakan tadi, maka
tidak ada satupun manusia yang pernah, sekarang atau akan hidup di muka bumi
ini terlahir sebagai manusia sempurna. Berarti konklusinya adalah tidak ada
yang menjadi standar/tolak ukur manusia sempurna dan hanya Tuhan yang Sempurna
karena Dia Maha Sempurna.
Kekeliruan itulah yang manusia
konsepsikan di dalam pikirannya sebagaimana dalam teori dialektika hegel (ide
mempengaruhi materi), sehingga terjadi sebuah pergeseran paradigma terhadap
diri sendiri dan sekitarnya. Ketika paradigma bergeser maka konsekuensinya
adalah tingkah laku manusia pun akan bergeser dikarenakan tidak ada manusia
yang sempurna dan tidak ada tolak ukur manusia yang sempurna yang kemudian
dengan sebuah kesimpulan bahwa manusia itu hidup tidak memiliki tujuan.
1. Akankah manusia hidup tanpa tujuan?
2. Akankah suatu ciptaan (manusia) tidak memiliki tolak ukur?
3. Akankah manusia itu stagnan dalam bertingkah laku/mengkritik/gosip
untuk sebuah pembenaran terhadap hakikat manusia?
Manusia
yang menulis pun tentu memiliki tujuan dan sebab-akibat sehingga mengapa dia
menulis. Yang dimana penulis tersebut lahir dari kedua orang tua dan pasangan
manusia yang pertama kali adalah Nabi Adam As dan Hawa yang sebagai ciptaan
dari Sang Sebab Awal (Tuhan). Dan salah satu tujuannya adalah membagi ilmu
pengetahuan karena semua Milik-Nya dan ciptaan-Nya dan dikarenakan ilmu
pengetahuan mempunyai sumbangsih terhadap peradaban manusia. Kalaupun Tuhan
menciptakan manusia itu tanpa tujuan berarti ada suatu hal yang gugur Dari-Nya
bahwa Dia bukan segalanya, Dia tidak bijaksana. Apakah Tuhan masih disebut
Tuhan ketika dia tidak bijaksana? Tentu tidak.
Ketika
manusia itu telah diciptakan memiliki tujuan dan karena Tuhan Maha Penyayang
maka sebagai konsekuensi logis adalah Tuhan menunjuk/memilih seorang manusia
sebagai tolak ukur terhadap manusia lainnya (keturunan) yaitu Nabi Muhammad
SAW. Karena dia tidak pernah salah maka dia disebut sebagai manusia sempurna.
Kalaupun dia pernah salah berarti Tuhan telah menunjuk/memilih manusia yang
salah sebagai contoh. Akankah Tuhan melakukan penunjukan yang salah?
Jawabannya; mustahil. Namun, apakah kemudian kita tidak dapat mencontohi Nabi
Muhammad? Mungkin jawabannya “Nabi dan manusia itu berbeda”. Apakah Nabi itu
bukan manusia? Dan ketika dia sebagai manusia sempurna akankah manusia yang
lainnya tidak akan sempurna? Nabi secara fisik disebut sebagai manusia, tapi
secara pengetahuan dan jiwa tentu berbeda, tetapi bukan berarti manusia lainnya
tidak dapat mengikutinya. Karena Nabi Muhammad hadir untuk menjawab tantangan
zaman. Namun, apakah dengan hadirnya Nabi Muhammad sebagai teladan, manusia
yang lainnya tidak dapat melakukan perubahan dalam diri yang akan mempengaruhi
di sekitarnya? Secara logis jawabannya adalah potensial.
Frasa
potensial tidak dapat ditafsirkan atau disamakan dengan stagnan/tidak mungkin.
Pada hakikatnya berbicara potensial tentu akan mengarah kepada sesuatu yang
berkembang jika dikembangkan dan menurun jika tidak dikembangkan. Jadi, manusia
itu secarap otensial dapat menjadi sempurna dan juga secara potensial dapat
menjadi semakin tidak sempurna berdasarkan tingkatan kesempurnaan. Dan fitrah
manusia, pada hakikatnya adalah mencari
kebenaran untuk menuju kesempurnaan.
Label:
Logika & Filsafat
|
1 komentar
Perbincangan mahasiswa,
kehidupannya bukan hadir sebagai sebuah kebekuan, potensinya hadir bukan untuk dibekukan. Ya,
biarpun yang ditampilkannya itu seperti anak sekolahan (ABG), mahasiswa yang
berlembaga dan mahasiswa yang berorganisasi. Akankah ketiga karakter dari mahasiswa menjadi
penerus bangsa? tentu saja walaupun tidak secara keseluruhan, tetapi akankah
mahasiswa sadar yang secara substansial sebagai pemuda yang memiliki nalar kritis,
agen perubahan dll. Suatu kenakalan berfikir ketika kita menganggap
mahasiswa zaman sekarang yang tidak berorganisasi/berlembaga di ruang lingkup
fakultas-kampus, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam
mata garuda, pikiranmu setajam pisau, perabaanmu lebih peka dari para malaikat,
pendengaranmu dan ratap-tangis kehidupan: pengetahuanmu tentang mahasiswa yang
tidak berorganisasi/berlembaga di ruang lingkup fakultas-kampus takkan bisa kau
nilai sebagaimana dosen yang memberikan nilai kepada mahasiswanya.
Sudah berapa banyakkah yang kau berikan untuk Negaramu? sehingga menjadikan dirimu fanatik dalam suatu
organisasi/lembaga kampus? Apakah dengan hadirnya Pancasila pada tanggal 1 juni 1945 dan sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928 itu muncul sebagai sebuah seremonial belaka? sebagaimana waktu kita duduk di bangku sekolah yang hanya sekedar menghafal kelima sila itu?
Bayangkanlah nasib bangsa Indonesia yang pernah mengalami penjajahan atau
kolonialisme selama tiga abad lebih. Tiga abad lebih itu dalam ukuran rotasi
matematis pertanggalan, tapi jika dalam ukuran perasaan maka satu hari
penjajahan bisa terasa seperti 1 tahun, maka perasaan orang-orang Indonesia
yang terjajah itu bisa lebih dari seribu abad rasanya. Setiap individu yang
terjajah dimana saja dalam kehidupan modern, selalu jumlah waktu yang gelap dalam hidupnya relatif
sama. Maka, seorang mahasiswa yang tidak tergolong dalam suatu komunitas/organisasi/lembaga
kampus yang pada realitasnya tidak berbeda dengan mahasiswa manapun yang
terjajah secara politik dalam suatu komunitas/organisasi/lembaga yang merasakan
galau dan resah sehingga potensi yang dimiliki seorang mahasiswa menjadi
terhambat.
Berdaulat juga bermakna otonom yang
memiliki kemandirian. Otonom berarti sempurna sebagai seorang mahasiswa yang
berkuasa atas kehendaknya sendiri selama tidak merugikan kepentingan umum yang
tidak ada paksaan dari luar (kreatvitas). Bahasanya adalah bahasa hati nurani, bahasa yang
mandiri, bahasa yang hakiki.
Dengan segala kerendahan, untuk
hakim yang terhormat yaitu golongan mahasiswa yang melampaui batas kehendak
Tuhan sebagai hakim yang Maha benar dan Maha adil. Akankah kita memberikan
sebuah kesimpulan/penjustifikasian terhadap ruang gerak potensi yang ingin
dikembangkannya sebagaimana mahasiswa yang terjajah secara politik?
“tidak banyak orang yang melihat yang dengan matanya
sendiri dan merasakan dengan hatinya sendiri.” #AlbertEinstein.
Jika
kita yakin perubahan/potensi yang dimiliki setiap mahasiswa itu sebagai sebuah
kebenaran. Maka, perubahan itu haruslah terkonstitusikan. Bukan hanya
konstitusi seperti yang dideklarasikan secara tertulis, tetapi juga konstitusi
yang tertulis di dalam hati mahasiswa. Konstitusi yang paling lembut itu tertulis
dengan darah yang mengalir sepanjang kehidupannya sebagai ciptaan Tuhan. salam mahasiswa!
Label:
Logika & Filsafat
|
0
komentar
Suatu wacana yang menarik ketika kita mengkaji filosof dan ilmuwan.
Apakah filosof (ahli filsafat ilmu) dan ilmuwan itu berbeda ataukah sama?
Kalaupun sama, apakah filosof dan ilmuwan mempunyai kesamaan secara keseluruhan
atau sebagian? Dan kalaupun beda, dari segi apa para filosof dan ilmuwan
mempunyai perbedaan? Kemudian, bagaimana para filosof mengkaji sesuatu dan para
ilmuwan mengkaji sesuatu?
Berbicara megenai filosof dan
ilmuwan identik dengan memperbincangkan masalah teori. Istilah teori dalam
kamus memiliki variasi yang begitu luas cakupannya. Contohnya, detektif swasta
dalam televisi mempunyai suatu ‘teori’ tentang kasus pembunuhan yang belum
terungkap. Seperti istilah yang digunakan detektif, teori menunjukkan dugaan, perkiraan
(hipotesis). Sebagian mahasiswa yang menganggap teori sebagai lawan dengan
pelajaran lain yang sifatnya praktis dan relevan. Menurut mereka yang dengan
menggunakan kata-kaa klise, “itu
dapat dilakukan dalam teorinya, kan tetapi dalam prakteknya tidak akan
berhasil.” Dan teori pula dapat diartikan sebagai renungan atau
perkiraan tentang suatu fenomena yang memusingkan kepala.
Ernest Nangel sebagai salah
seorang tokoh terkemuka yang telah mengemukakan tentang apa yang disebut dengan
received view yang dikarenakan suatu
alasan yag dilengkapi dengan keterbatasan satu-satunya alternatif yang lain,
yang disebut dengan anggapan umum biasanya tidak tepat dan tidak konsisten
sehingga pilihan untuk meyakini kesamaan di antara berbagai fenomena, perbedaan
atau dalam salah satu di antara keyakinan yang saling bertentangan hanya semata
dibuat-buat dan tanpa pedoman yang rasional. Maksudnya adalah suatu anggapan
umum yang penekanannya hanya kepada pengalaman biasa setiap hari. Karena
anggapan umum berasal dan diterapkan secara langsung kepada masalah-masalah
yang sifatnya praktis, maka rentang daya gunanya tidaklah menjangkau lebih dari
hal-hal yang rutin dari pengalaman setiap hari, yang dimana penekanannya
cenderung menyebabkan pengetahuan kita mandeg
(stagnasi) dan menjadi kaku dalam berfikir yang tidak dapat dihindari. Dan
ketika hal tersebut menjadi kaku, maka pengetahuan semacam itu lalu menjadi
kebiasaan dan tradisional (menjadi suatu kelaziman) sehingga untuk menghadapi
problema atau situasi sosial yang sebelumnya belum pernah dihadapi menjadi
rusak.
Para filosof (ahli filsafat) di
bidang ilmu, harus diingat bukanlah ilmuwan dan mereka pun tidak pernah
menyatakan dirinya sebagai ahli dalam setiap bidang ilmu dengan cara yang a priori, apa yang harus dilakukan.
Mereka adalah ahli filsafat yang mengkaji masalah filosofis yang berhubungan
dengan perkembangan teoritis secara umum dan perkembangan teori ilmiah dari
suatu disiplin ilmu secara partikulir (khusus). Untuk bidang pengetahuan
tertentu ahli filsafat dapat mengorganisasi dan mensistematiskan pengetahuan
dalam kerangka pengetahuan yang ada dalam teoritis dan menjelaskan prinsip
ilmiah yang telah dikonfirmasi/diterima secara luas dan menelusuri perkembangan
historis dari prinsip tersebut.
Seketika Robson sebagai salah
satu ahli sosiologi, merumuskan kembali kata Lakatos (seorang filsafat ilmu)
bahwa sumbangan filsafat ilmu adalah “seakan mengatakan kepada para ilmuwan apa
yang telah mereka lakukan dan mengpa mereka melakukannya setelah mereka
melaksanakannya. Dan para filosof sendiri tanpa terpecah-pecah dalam hal
nasihat apa dan penyuluhan apa yang selayaknya mereka berikan kepada kita.”
Para ilmuwan mungkin saja telah
mendeduksinya secara logis dari seperangkat aksioma dan sekarang ia memiliki
suatu kebenaran baru yang sifatnya potensial atau mungkin telah mencetuskan
hipotesis itu dari studi penelitian terdahulu menghasilkan sebuah hasil yang
tidak terduga sebelumnya atau hasil sekilas. Penggambaran tradisional
penelitian ilmiah dinamakan sebagai penghampiran hypothetico-deductivism (hipotesis-deduktivisme/umum ke khusus)
yang terbagi dalam 2 macam, yakni; fase perumusan hipotesis dan fase
pengujiannya. Dan para filosof
mengatakan “suatu kesimpulan yang benar dari suatu argumen deduktif (umum ke
khusus) harus benar jika premis-premis yang
digunakan juga benar.”
Dengan cara itulah deduktif
ditegakkan. Jika hipotesis (H) benar, maka prediksi (P) merupakan efek juga
juga benar. Dan efek yang diramalkan telah teramati. Masalah dalam usaha
mengkonfirmasi hipotesis secara langsung merupakan masalah formal dalam hukum
logika bersyarat (jika...maka). Bentuk yang langsung, yaitu:
Hipotesis>Prediksi (jika H, maka P)
Prediksi (P) (P =
teramati/sebagai akibat)
maka Hipotesis (H) (H dapat diterima)
Bentuk deduksi di atas melakukan
kesalahan pada waktu menegaskan akibat (P). Yang secara logis maka tidak akan
ada kesimpulan yang benar dapat ditarik. Karena alasan itulah maka prediksi itu
dinyatakan dalam bentuk “nol”, yang secara khusus memprediksi tidak ada pengaruh
yang berbeda. Maka, observasi berusaha mengingkari akibat nol itu (tidak ada
pengaruh) sehingga demikian akan memperkuat hipotesis secara tidak langsung.
Jadi bentuk deduktif dari
eksperimen tertentu mengambil bentuk sebagai berikut. Jika hipotesis itu tidak
benar (-H) maka perbedaan yang diprediksi tida akan diharapkan (-P). Observasi
lalu ditujukan untuk mencari fakta untuk menolak keadaan tanpa perbedaan itu
(-P), dengan cara itu dapat diingkari kesalahan hipotesis. Bentuk negatif ganda
dari logika deduktif atas eksperimen menjadi:
- H > -P (jika
tidak –H, maka tidak –P)
- (-P) (observasi
menolak prediksi nol)
Maka H (Hipotesis
diterima secara indirect / tidak
langsung)
Tujuan
dari penjelasan yang diatas secara sederhana adalah untuk memperlihatkan bahwa
jika hipotesis dikonfirmasikan dalam kerangka kerja hipotetiko-deduktif, sistem
logika yang diterapkan adalah deduktif secara ekslusif yang dimana
hipotesis itu tidak secara langsung
teramati atau dikonfirmasikan. Akan tetapi, ia lebih dianggap ada setelah
usaha enyalahkan hipotesis gagal/negatif ganda. Model hipotetiko dalam
pengolahan ilmu secara jelas menempatkan penekanan yang bersar terhadap
justifikasi. Dan para filosof ilmu yang tradisional, agak mengabaikan problem
ini secara ceroboh dengan mengemukakan tiadanya logic of discovery (logika penemuan).
Bila awan gelap yang menutupi semua itu reda, kita masih
saja tinggal dalam posisi tidak lebih banyak daripada sekumpulan generalisasi
dan hipotesis setengah pasti yang diperoleh dari penelitian. #para filosof
Label:
Logika & Filsafat
|
0
komentar
Selasa, 18 Maret 2014
Suatu hal yang
menarik ketika kita mengkaji, dengan dibentuknya beberapa komisi-komisi negara
seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran
Indonesia, Komnas HAM dll. Institusi tersebut dibentuk karena negara dalam
pengertian tradisional dianggap tidak bisa lagi menjawab kebutuhan
ketatanegaraan, maka dibentuklah komisi-komisi tersebut untuk menjawab
tantangan zaman yang dimana zaman akan terus berubah sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan masyarakat.
Apakah komisi
yudisial masuk dalam kategori lembaga yudikatif atau tidak? Apakah dia termasuk
dalam kategori kekuasaan kehakiman?
dalam konteks negara Indonesia kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan
dalam kehidupan ketatanegaraan. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Di samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945
juga memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yaitu Komisi
Yudisial. Berdasarkan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi yang
tidak boleh bertentangan pancasila sebagai staatsfundamentalnorms sebagaimana
yang dikatakan oleh hans-nawiasky bahwa pancasila sebagai norma dasar. Pada
pasal 24B ayat 1 bahwa komisi yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim dan di dalam uu no.25 tahun 2009
tentang pelayanan publik pasal 1 (4) bahwa “Organisasi penyelenggara publik
yang selanjutnya disebut Organisasi Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara
pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan
hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.”
Konklusinya
adalah Komisi yudisial disebut sebagai lembaga independen bukan alat pemerintah
yaitu institusi yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dan
apakah KY masuk dalam kategori lembaga yudikatif? Sebagaimana lembaga yudikatif
adalah suatu badan kehakiman yaitu MK dan MA sesuai dengan pasal 24 (2) UUD
1945 dan KY hanyalah berwenang untuk mengisi hakim agung dan menjaga perilaku
hakim pasal 24 B (1) UUD 1945. Apakah kewenangan MK dan MA sama? Tentulah sama
akan tetapi berbeda dari segi sifatnya yaitu MK memiliki salah satu wewenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji UU terhadap UUD dan MA memiliki kewenangan mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, yang
dimana kewenangan tersebut tertuang dalam UUD 1945 pasal 24C (1) dan pasal 24 A
(1). Walaupun KY bersentuhan langsung dengan kekuasaan kehakiman, terutama
Mahkamah Agung. Yang dimana, cara KY melakukan tugasnya akan mencampuri
Mahkamah Agung. Misalnya ada sebuah putusan yang keliru, hakim agung yang
bersangkutan akan dipanggil oleh KY. Institusinya memang diperlukan sebab tidak
mungkin ada kekuasaan tanpa pengawasan berdasarkan prinsip check and balances. Dengan
dibentuknya KY yang akan mengungkap hakim yang keliru dll. Karena pada
dasarnya, tidak ada kekuasaan yang tanpa pengawasan. Jadi, kesimpulannya adalah
bahwa KY tidak masuk dalam kategori
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sebagaimana halnya dengan KPK adalah
sebuah lembaga baru dengan kewenangan yang sering disebut sebagai lembaga
superbody yang memiliki kewenangan ekstra dibanding dengan lembaga negara lain.
Maka, dengan hadirnya Komisi Yudisial (KY) hampir
sama seperti yang dialami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Label:
Hukum & Sosial
|
0
komentar
Senin, 03 Februari 2014
Apakah segala
bentuk perbuatan atau tindakan warga Negara menjadi terbatas (kaku) dengan
adanya suatu aturan hukum, yang dimana cita-cita hukum adalah menciptakan
ketertiban masyarakat ataukah aturan hukum justru akan memperhambat jalannya
suatu ketertiban masyarakat dikarenakan adanya batasan-batasan terhadap
perilaku-perilaku individu maupun masyarakat? Karena pada dasarnya manusia
adalah makhluk yang bebas dari segala hal dalam hal ini disebut sebagai
intervensi dan pengejawantahannya terjuwud dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Nah,
untuk menentukan suatu perbuatan atau tindakan tersebut salah/melanggar hukum
(dalam bahasa hukumnya=tersangka) dengan menggunakan inti, rasio daripadanya
(tidak berpegang pada aturan yang ada) ataukah berpegang pada bunyi suatu
aturan yang semua kata-katanya dituruti?
Di dalam ruang lingkup akademisi hukum yang menyangkut dengan suatu Negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yaitu Negara Indonesia dan lebih jelasnya terletak dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 bahwa “Indonesia adalah Negara hukum”. Lalu, hukum apakah yang dimaksud dalam UUD 1945 tersebut? Apakah hukum tertulis? Ataukah hukum itu harus sesuai dengan suatu kebiasaan masyarakat (tidak tertulis)? Dan perlu diketahui bahwa hukum itu bersifat empiris (indra).
Berangkat dari klausul yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah Negara hukum” maka, yang menjadi pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis; berdasarkan pernyataan bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dan ini sebagai dalil yang kuat mengenai pertanggung jawaban pidana atas perbuatan yang telah dilakukannya yang disebut dengan criminal responsibility atau criminal liability.
Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri disebut dengan criminal act yang berbeda dengan pertanggung jawaban pidana dan dasar inilah yang disebut asas legalitas (principle of legality) yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana jika tidak ditentukan atau tidak disebutkan dalam perundang-undangan. Bahasa latinnya adalah nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu yang berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum Jerman (1775-1833) dalam rumusannya berbentuk pepatah Latin tadi dalam bukunya; Lehrbuch des peinlichen Recht (1801).
Dan perumusan asas legalitas tersebut itu kemudian dihubungkan dalam teorinya Von Feurbach juga bahwa “vom psycholigischen Zwang” yaitu menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan, dengan maksud bahwa siapa pun yang telah melakukan perbuatan pidana mengetahui larangan lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkannya kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan dan dengan demikian secara psikologis sudah ada tekaan untuk tidak berbuat. Dan kalaupun individu telah melakukan perbuatan yang dilarang, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Hal ini hukum diciptakan bukan untuk menciptakan ke-kaku-an dan bukan juga kebebasan (free will), akan tetapi asas legalitas tersebut mengandung makna sebagai jalan tengah (tidak memihak) antara kaku dan kebebasan agar individu atau masyarakat mendapatkan sebuah ketertiban yang berhubung dengan lancarnya pembangunan nasional (secara teoritis). Karena kalau dalam sebuah Negara menjunjung kebebasan yang sebebas bebasnya maka justru Negara tidak mendapatkan sebuah ketentraman diakibatkan hukum tidak diciptakan melalui sesuatu yang tertulis dan begitupun kalau sebuah Negara hanya sebuah aturan saja maka yang ada adalah dalam mengambil sebuah keputusan yaitu hakim hanyalah terompet undang-undang (menurut prof.achmad ali). Makanya penafsiran terhadap undang-undang tersebut dibutuhkan dalam mengkaji dan menganalisis suatu perbuatan dan tindak pidana dalam hal penjatuhan pemidanaan (pasal 10 KUHP) sebagai pembalasan menurut Von Feurbach.
Asas legalitas mengandung 3 pengertian, yaitu :
1.
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
undang-undang, di dalam teks Belanda disebutkan “wettelijke strafbepaling”
yaitu aturan pidana dalam perundangan.
2.
Untuk menggunakan adanya perbuatan pidana tidak
boleh menggunakan analogi (kias). Walaupun pada umumnya pernyataan tersebut
masih dipakai oleh kebanyakan Negara-negara. Di Indonesia dan Belanda, masih
mengakui prinsip ini, meskipun juga ada beberapa sarjana yang tidak dapat
menyetujuinya misalnya Taverne,Pompe dan Jonkers. Prof.scholter menolak adanya perbedaan
antra analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata dibolehkan dan
menurutnya dalam hal tafsiran maupun ekstensif dasarnya adalah sama, yitu
dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum/abstrak) dari
norma yang ada. Lalu didedusir menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya
meluaskan aturan yang ada), dan antara keduanya itu hanya ada perbedaan gradual/gradasi
saja.
Contoh dari tafsiran ekstensif adalah
putusan HR Negeri Belanda tahun 1921 dimana ditentukan mengenai benda dan barang
dalam pasal 362 KUHP (pasal tentang pencurian) juga meliputi daya listrik
secara tidak sah itu dapat dikenai pasal 362 KUHP tersebut.
Dan pendapat ini pun disetujui oleh
Prof.Van Hattum dalam bukunya Handen leerboek van het Ned. Strafrecht. 1953. Akan
tetapi beliau menolak analogi dalam menentukan perbuatan pidana dan juga
menolak tafsiran ekstensif. Dan menurut Prof. Moeljatno dalam karyannya menyatakan
bahwa, apakah dalam pencurian daya listrik itu dianggap sebagai suatu benda dan
barang karena tafsiran ekstensif atapun karena peralihan makna dari kata goed (benda&barang), itu hanyalah
berlainan kta-kata saja. Yang terang adalah pada waktu wetboek van strafhrecht
dibentuk hanya bermakna sebaga barang berwujud saja, sedangkan maknanya pada
masa sekarang juga meliputi barang yang tidak berwujud. Dan analogi maupun
ekstensif itu perlu dengan batasan yang jelas, yaitu sampai dimana yang masih
dapat dikatakan sebagai interpretasi dan manakah yang sudah meningkat ke
analogi, sehingga tidak diperbolehkan. Maksudnya adalah dalam pandangan hakim
seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang
ada, yang mengenai perbuatan yang mirip dengan itu. Karena termasuk dalam inti
suatu aturan yang ada, maka perbuatan tersebut dapat dikenai dengan yang
tertulis dengan menggunakan analogi. Jadi sesungguhnya jika digunakan analogi,
yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan tertentu,
bukanlah dari apa yang tertulis, tetapi rasio inti dan aturan yang ada, sesuai
dengan pengaturan tentang kekuasaan kehakiman terbaru adalah UU No. 48 Tahun
2009. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan: “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
3.
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Label:
Hukum & Sosial
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)