Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Kamis, 17 Juli 2014
       Pergerakan mahasiswa menjadi multitafsir terhadap yang dimaksud dengan idealisme terhadap dunia post-modernisme ini yang mendarah daging dalam jiwa idealisme mahasiswa yaitu bebas nilai terhadap kejadian yang terjadi.

       Secara universal, perlu dikatakan bahwa mahasiswa dan bukan mahasiswa adalah manusia itu sendiri, dimana mahasiswa haruslah memahami manusia secara universal melalui fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia. Menurut Murtada Muthahhari (pemikir dari Iran) bahwa fitrah manusia itu memiliki 2 fitrah yaitu fitrah menalar (akal) dan fitrah merasa (hati).

        Terkadang mahasiswa menggunakan fitrah menalar (analisis) sampai lupa dengan fitrah merasa (hati) terhadap masyarakat atau publik dan inilah disebut dengan idealisme kiri. Juga ada mahasiswa yang menggunakan fitrah merasa (hati) sampai lupa terhadap fitrah menalar (akal) terhadap penalaran masyarakat/publik yang mengakibatkan pergerakan mahasiswa menjadi luntur. Hal yang sangat cenderung mempengaruhi dunia kemahasiswaan adalah terbentuknya pemikiran yang konsumtif diakibatkan produk-produk yang memerangi alam bawah sadar masyarakat modern yang sesuai dengan bahasa Antonio Gramsci yang disebut dengan hegemoni (penyerangan alam bawah sadar). Maksudnya adalah mahasiswa cenderung memiliki penyakit untuk berpikir bagaimana kemudian dapat memiliki produk, sehingga ketika semakin banyak produk yang dimiliki mahasiswa maka mahasiswa akan semakin disibukkan untuk merawat produk yang dimiliki sehingga mengurangi waktu untuk berpikir terhadap perubahan zaman, misalnya penyelewengan kekuasaan, kezaliman terjadi di suatu daerah tertentu. Dan hal ini juga menjadi penyebab lunturnya gerakan mahasiswa sekarang ini. Akankah mahasiswa membiarkan kezaliman ini terus terjadi? sebagaimana seseorang membutuhkan payung ketika hujan terjadi, sebagaimana itu pula manusia merindukan akan adanya keadilan yang hakiki dan mahasiswa memiliki amanah untuk itu dalam artian perubahan zaman dari kezaliman menuju keadilan.

       Meminjam dari bahasa seorang pemikir yang bernama Erich Fromm bahwa penyakit manusia modern adalah manusia disibukkan untuk bagaimana kemudian untuk dapat dicintai sehingga lupa akan cara bagaimana kita dapat mencintai sesuatu. Misalnya dalam dunia keperempuanan disibukkan dengan dunia-dunia kosmetik dan laki-laki disibukkan dengan dunia style (gaya hidup yang sesuai dengan produk yang ada). Sehingga, tolak ukur pergaulan mahasiswa cenderung kepada produk apa yang kita miliki.

      Tidak ada yang salah dalam dunia modern ini dikarenakan dunia modern atau perkembangan teknologi adalah sesuatu yang pasti terjadi, tapi bagaimana kemudian mahasiswa tidak kehilangan nilai yang dipikulnya salah satunya adalah sebagai penggerak perubahan. akankah mahasiswa membiarkan kezaliman yang mendarah daging di negara ini?

      Kemudian yang menjadi permasalahan adalah pergerakan mahasiswa tidak lagi disertai dengan gerakan cinta dalam artian mahasiswa haruslah memahami nilai kemahasiswaan disertai dengan cara-cara yang modern atau sesuai dengan zaman dan perlunya mahasiswa untuk menganalisis zaman untuk menjawab pergerakan mahasiswa. Cara untuk memberi sesuatu itu melalui perkembangan zaman (budaya) dan nilai (tujuan) yang akan disampaikan dari segi kemahasiswaan itu tidak pernah berubah. Ketika mahasiswa sudah memiliki nilai apa yang akan dicapai melalui sejarah, maka diperlukan juga mengenali budaya untuk memiliki metode atau cara untuk mahasiswa menyampaikan nilai kemahasiswaan, maka pada saat itulah pergerakan cinta terjadi yaitu pergerakan yang memahami nilai kemahasiswaan dan memahami zaman yang disebut tantangan pergerakan cinta.
Rabu, 26 Maret 2014



                Sesuatu yang sesungguhnya adalah ketika sesuatu itu bertemu dengan kemusnahan kecuali Sang Pencipta Sesuatu (Maha Pencipta mengakibatkan Diri-Nya menjadi Maha Kekal). Hari-hari yang telah manusia lewati yang pada hakikatnya adalah ketika kegelapan itu suatu saat akan bertemu dengan ke-terang-an , ketika malam dan siang itu bertemu, hujan dan panas itu bertemu dalam sehari dan laki2 dan perempuan (semua diciptakan berpasang-pasangan). Adakah manusia yang sebagai ciptaan akan mengatakan bahwa bumi dan seisinya ini tidak seimbang?
                Satu hal yang sangat tidak asing lagi pada daun telinga manusia ketika mendengar suatu kalimat yang menyatakan bahwa “TIDAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA”, yang dimana pada realitasnya mungkin manusia itu berbicara kepada diri sendiri (merenung) ataukah berinteraksi dengan manusia lainnya. Kalau asumsinya seperti yang manusia katakan tadi, maka tidak ada satupun manusia yang pernah, sekarang atau akan hidup di muka bumi ini terlahir sebagai manusia sempurna. Berarti konklusinya adalah tidak ada yang menjadi standar/tolak ukur manusia sempurna dan hanya Tuhan yang Sempurna karena Dia Maha Sempurna.
                Kekeliruan itulah yang manusia konsepsikan di dalam pikirannya sebagaimana dalam teori dialektika hegel (ide mempengaruhi materi), sehingga terjadi sebuah pergeseran paradigma terhadap diri sendiri dan sekitarnya. Ketika paradigma bergeser maka konsekuensinya adalah tingkah laku manusia pun akan bergeser dikarenakan tidak ada manusia yang sempurna dan tidak ada tolak ukur manusia yang sempurna yang kemudian dengan sebuah kesimpulan bahwa manusia itu hidup tidak memiliki tujuan.
1.       Akankah manusia hidup tanpa tujuan?
2.       Akankah suatu ciptaan (manusia) tidak memiliki tolak ukur?
3.       Akankah manusia itu stagnan dalam bertingkah laku/mengkritik/gosip untuk sebuah pembenaran terhadap hakikat manusia?

Manusia yang menulis pun tentu memiliki tujuan dan sebab-akibat sehingga mengapa dia menulis. Yang dimana penulis tersebut lahir dari kedua orang tua dan pasangan manusia yang pertama kali adalah Nabi Adam As dan Hawa yang sebagai ciptaan dari Sang Sebab Awal (Tuhan). Dan salah satu tujuannya adalah membagi ilmu pengetahuan karena semua Milik-Nya dan ciptaan-Nya dan dikarenakan ilmu pengetahuan mempunyai sumbangsih terhadap peradaban manusia. Kalaupun Tuhan menciptakan manusia itu tanpa tujuan berarti ada suatu hal yang gugur Dari-Nya bahwa Dia bukan segalanya, Dia tidak bijaksana. Apakah Tuhan masih disebut Tuhan ketika dia tidak bijaksana? Tentu tidak.
Ketika manusia itu telah diciptakan memiliki tujuan dan karena Tuhan Maha Penyayang maka sebagai konsekuensi logis adalah Tuhan menunjuk/memilih seorang manusia sebagai tolak ukur terhadap manusia lainnya (keturunan) yaitu Nabi Muhammad SAW. Karena dia tidak pernah salah maka dia disebut sebagai manusia sempurna. Kalaupun dia pernah salah berarti Tuhan telah menunjuk/memilih manusia yang salah sebagai contoh. Akankah Tuhan melakukan penunjukan yang salah? Jawabannya; mustahil. Namun, apakah kemudian kita tidak dapat mencontohi Nabi Muhammad? Mungkin jawabannya “Nabi dan manusia itu berbeda”. Apakah Nabi itu bukan manusia? Dan ketika dia sebagai manusia sempurna akankah manusia yang lainnya tidak akan sempurna? Nabi secara fisik disebut sebagai manusia, tapi secara pengetahuan dan jiwa tentu berbeda, tetapi bukan berarti manusia lainnya tidak dapat mengikutinya. Karena Nabi Muhammad hadir untuk menjawab tantangan zaman. Namun, apakah dengan hadirnya Nabi Muhammad sebagai teladan, manusia yang lainnya tidak dapat melakukan perubahan dalam diri yang akan mempengaruhi di sekitarnya? Secara logis jawabannya adalah potensial.
Frasa potensial tidak dapat ditafsirkan atau disamakan dengan stagnan/tidak mungkin. Pada hakikatnya berbicara potensial tentu akan mengarah kepada sesuatu yang berkembang jika dikembangkan dan menurun jika tidak dikembangkan. Jadi, manusia itu secarap otensial dapat menjadi sempurna dan juga secara potensial dapat menjadi semakin tidak sempurna berdasarkan tingkatan kesempurnaan. Dan fitrah manusia, pada hakikatnya adalah mencari kebenaran untuk menuju kesempurnaan.



            Perbincangan mahasiswa, kehidupannya bukan hadir sebagai sebuah kebekuan, potensinya hadir bukan untuk dibekukan. Ya, biarpun yang ditampilkannya itu seperti anak sekolahan (ABG), mahasiswa yang berlembaga dan mahasiswa yang berorganisasi.  Akankah ketiga karakter dari mahasiswa menjadi penerus bangsa? tentu saja walaupun tidak secara keseluruhan, tetapi akankah mahasiswa sadar yang secara substansial sebagai pemuda yang memiliki nalar kritis, agen perubahan dll. Suatu kenakalan berfikir ketika kita menganggap mahasiswa zaman sekarang yang tidak berorganisasi/berlembaga di ruang lingkup fakultas-kampus, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam mata garuda, pikiranmu setajam pisau, perabaanmu lebih peka dari para malaikat, pendengaranmu dan ratap-tangis kehidupan: pengetahuanmu tentang mahasiswa yang tidak berorganisasi/berlembaga di ruang lingkup fakultas-kampus takkan bisa kau nilai sebagaimana dosen yang memberikan nilai kepada mahasiswanya.
            Sudah berapa banyakkah yang kau berikan untuk Negaramu? sehingga menjadikan dirimu fanatik dalam suatu organisasi/lembaga kampus? Apakah dengan hadirnya Pancasila pada tanggal 1 juni 1945 dan sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928 itu muncul sebagai sebuah seremonial belaka? sebagaimana waktu kita duduk di bangku sekolah yang hanya sekedar menghafal kelima sila itu? Bayangkanlah nasib bangsa Indonesia yang pernah mengalami penjajahan atau kolonialisme selama tiga abad lebih. Tiga abad lebih itu dalam ukuran rotasi matematis pertanggalan, tapi jika dalam ukuran perasaan maka satu hari penjajahan bisa terasa seperti 1 tahun, maka perasaan orang-orang Indonesia yang terjajah itu bisa lebih dari seribu abad rasanya. Setiap individu yang terjajah dimana saja dalam kehidupan modern, selalu jumlah waktu yang gelap dalam hidupnya relatif sama. Maka, seorang mahasiswa yang tidak tergolong dalam suatu komunitas/organisasi/lembaga kampus yang pada realitasnya tidak berbeda dengan mahasiswa manapun yang terjajah secara politik dalam suatu komunitas/organisasi/lembaga yang merasakan galau dan resah sehingga potensi yang dimiliki seorang mahasiswa menjadi terhambat.
            Berdaulat juga bermakna otonom yang memiliki kemandirian. Otonom berarti sempurna sebagai seorang mahasiswa yang berkuasa atas kehendaknya sendiri selama tidak merugikan kepentingan umum yang tidak ada paksaan dari luar (kreatvitas). Bahasanya adalah bahasa hati nurani, bahasa yang mandiri, bahasa yang hakiki.
            Dengan segala kerendahan, untuk hakim yang terhormat yaitu golongan mahasiswa yang melampaui batas kehendak Tuhan sebagai hakim yang Maha benar dan Maha adil. Akankah kita memberikan sebuah kesimpulan/penjustifikasian terhadap ruang gerak potensi yang ingin dikembangkannya sebagaimana mahasiswa yang terjajah secara politik?
“tidak banyak orang yang melihat yang dengan matanya sendiri dan merasakan dengan hatinya sendiri.” #AlbertEinstein.
            Jika kita yakin perubahan/potensi yang dimiliki setiap mahasiswa itu sebagai sebuah kebenaran. Maka, perubahan itu haruslah terkonstitusikan. Bukan hanya konstitusi seperti yang dideklarasikan secara tertulis, tetapi juga konstitusi yang tertulis di dalam hati mahasiswa. Konstitusi yang paling lembut itu tertulis dengan darah yang mengalir sepanjang kehidupannya sebagai ciptaan Tuhan. salam mahasiswa!



                Suatu wacana yang menarik ketika kita mengkaji filosof dan ilmuwan. Apakah filosof (ahli filsafat ilmu) dan ilmuwan itu berbeda ataukah sama? Kalaupun sama, apakah filosof dan ilmuwan mempunyai kesamaan secara keseluruhan atau sebagian? Dan kalaupun beda, dari segi apa para filosof dan ilmuwan mempunyai perbedaan? Kemudian, bagaimana para filosof mengkaji sesuatu dan para ilmuwan mengkaji sesuatu?
                Berbicara megenai filosof dan ilmuwan identik dengan memperbincangkan masalah teori. Istilah teori dalam kamus memiliki variasi yang begitu luas cakupannya. Contohnya, detektif swasta dalam televisi mempunyai suatu ‘teori’ tentang kasus pembunuhan yang belum terungkap. Seperti istilah yang digunakan detektif, teori menunjukkan dugaan, perkiraan (hipotesis). Sebagian mahasiswa yang menganggap teori sebagai lawan dengan pelajaran lain yang sifatnya praktis dan relevan. Menurut mereka yang dengan menggunakan kata-kaa klise, “itu dapat dilakukan dalam teorinya, kan tetapi dalam prakteknya tidak akan berhasil.” Dan teori pula dapat diartikan sebagai renungan atau perkiraan tentang suatu fenomena yang memusingkan kepala.
                Ernest Nangel sebagai salah seorang tokoh terkemuka yang telah mengemukakan tentang apa yang disebut dengan received view yang dikarenakan suatu alasan yag dilengkapi dengan keterbatasan satu-satunya alternatif yang lain, yang disebut dengan anggapan umum biasanya tidak tepat dan tidak konsisten sehingga pilihan untuk meyakini kesamaan di antara berbagai fenomena, perbedaan atau dalam salah satu di antara keyakinan yang saling bertentangan hanya semata dibuat-buat dan tanpa pedoman yang rasional. Maksudnya adalah suatu anggapan umum yang penekanannya hanya kepada pengalaman biasa setiap hari. Karena anggapan umum berasal dan diterapkan secara langsung kepada masalah-masalah yang sifatnya praktis, maka rentang daya gunanya tidaklah menjangkau lebih dari hal-hal yang rutin dari pengalaman setiap hari, yang dimana penekanannya cenderung menyebabkan pengetahuan kita mandeg (stagnasi) dan menjadi kaku dalam berfikir yang tidak dapat dihindari. Dan ketika hal tersebut menjadi kaku, maka pengetahuan semacam itu lalu menjadi kebiasaan dan tradisional (menjadi suatu kelaziman) sehingga untuk menghadapi problema atau situasi sosial yang sebelumnya belum pernah dihadapi menjadi rusak.
                Para filosof (ahli filsafat) di bidang ilmu, harus diingat bukanlah ilmuwan dan mereka pun tidak pernah menyatakan dirinya sebagai ahli dalam setiap bidang ilmu dengan cara yang a priori, apa yang harus dilakukan. Mereka adalah ahli filsafat yang mengkaji masalah filosofis yang berhubungan dengan perkembangan teoritis secara umum dan perkembangan teori ilmiah dari suatu disiplin ilmu secara partikulir (khusus). Untuk bidang pengetahuan tertentu ahli filsafat dapat mengorganisasi dan mensistematiskan pengetahuan dalam kerangka pengetahuan yang ada dalam teoritis dan menjelaskan prinsip ilmiah yang telah dikonfirmasi/diterima secara luas dan menelusuri perkembangan historis dari prinsip tersebut.
                Seketika Robson sebagai salah satu ahli sosiologi, merumuskan kembali kata Lakatos (seorang filsafat ilmu) bahwa sumbangan filsafat ilmu adalah “seakan mengatakan kepada para ilmuwan apa yang telah mereka lakukan dan mengpa mereka melakukannya setelah mereka melaksanakannya. Dan para filosof sendiri tanpa terpecah-pecah dalam hal nasihat apa dan penyuluhan apa yang selayaknya mereka berikan kepada kita.”
                Para ilmuwan mungkin saja telah mendeduksinya secara logis dari seperangkat aksioma dan sekarang ia memiliki suatu kebenaran baru yang sifatnya potensial atau mungkin telah mencetuskan hipotesis itu dari studi penelitian terdahulu menghasilkan sebuah hasil yang tidak terduga sebelumnya atau hasil sekilas. Penggambaran tradisional penelitian ilmiah dinamakan sebagai penghampiran hypothetico-deductivism (hipotesis-deduktivisme/umum ke khusus) yang terbagi dalam 2 macam, yakni; fase perumusan hipotesis dan fase pengujiannya. Dan para filosof mengatakan “suatu kesimpulan yang benar dari suatu argumen deduktif (umum ke khusus) harus benar jika premis-premis  yang digunakan juga benar.”
                Dengan cara itulah deduktif ditegakkan. Jika hipotesis (H) benar, maka prediksi (P) merupakan efek juga juga benar. Dan efek yang diramalkan telah teramati. Masalah dalam usaha mengkonfirmasi hipotesis secara langsung merupakan masalah formal dalam hukum logika bersyarat (jika...maka). Bentuk yang langsung, yaitu:
Hipotesis>Prediksi                           (jika H, maka P)
Prediksi                (P)                       (P = teramati/sebagai akibat)
maka Hipotesis (H)                          (H dapat diterima)
                Bentuk deduksi di atas melakukan kesalahan pada waktu menegaskan akibat (P). Yang secara logis maka tidak akan ada kesimpulan yang benar dapat ditarik. Karena alasan itulah maka prediksi itu dinyatakan dalam bentuk “nol”, yang secara khusus memprediksi tidak ada pengaruh yang berbeda. Maka, observasi berusaha mengingkari akibat nol itu (tidak ada pengaruh) sehingga demikian akan memperkuat hipotesis secara tidak langsung.
                Jadi bentuk deduktif dari eksperimen tertentu mengambil bentuk sebagai berikut. Jika hipotesis itu tidak benar (-H) maka perbedaan yang diprediksi tida akan diharapkan (-P). Observasi lalu ditujukan untuk mencari fakta untuk menolak keadaan tanpa perbedaan itu (-P), dengan cara itu dapat diingkari kesalahan hipotesis. Bentuk negatif ganda dari logika deduktif atas eksperimen menjadi:
- H  > -P                                (jika tidak –H, maka tidak –P)
-        (-P)                               (observasi menolak prediksi nol)
Maka H                                  (Hipotesis diterima secara indirect / tidak langsung)
Tujuan dari penjelasan yang diatas secara sederhana adalah untuk memperlihatkan bahwa jika hipotesis dikonfirmasikan dalam kerangka kerja hipotetiko-deduktif, sistem logika yang diterapkan adalah deduktif secara ekslusif yang dimana hipotesis itu tidak secara langsung  teramati atau dikonfirmasikan. Akan tetapi, ia lebih dianggap ada setelah usaha enyalahkan hipotesis gagal/negatif ganda. Model hipotetiko dalam pengolahan ilmu secara jelas menempatkan penekanan yang bersar terhadap justifikasi. Dan para filosof ilmu yang tradisional, agak mengabaikan problem ini secara ceroboh dengan mengemukakan tiadanya logic of discovery (logika penemuan).
Bila awan gelap yang menutupi semua itu reda, kita masih saja tinggal dalam posisi tidak lebih banyak daripada sekumpulan generalisasi dan hipotesis setengah pasti yang diperoleh dari penelitian. #para filosof
Selasa, 18 Maret 2014


Suatu hal yang menarik ketika kita mengkaji, dengan dibentuknya beberapa komisi-komisi negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Komnas HAM dll. Institusi tersebut dibentuk karena negara dalam pengertian tradisional dianggap tidak bisa lagi menjawab kebutuhan ketatanegaraan, maka dibentuklah komisi-komisi tersebut untuk menjawab tantangan zaman yang dimana zaman akan terus berubah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Apakah komisi yudisial masuk dalam kategori lembaga yudikatif atau tidak? Apakah dia termasuk dalam kategori kekuasaan kehakiman? dalam konteks negara Indonesia kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Di samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945 juga memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Berdasarkan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi yang tidak boleh bertentangan pancasila sebagai staatsfundamentalnorms sebagaimana yang dikatakan oleh hans-nawiasky bahwa pancasila sebagai norma dasar. Pada pasal 24B ayat 1 bahwa komisi yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dan di dalam uu no.25 tahun 2009 tentang pelayanan publik pasal 1 (4) bahwa “Organisasi penyelenggara publik yang selanjutnya disebut Organisasi Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.”

Konklusinya adalah Komisi yudisial disebut sebagai lembaga independen bukan alat pemerintah yaitu institusi yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dan apakah KY masuk dalam kategori lembaga yudikatif? Sebagaimana lembaga yudikatif adalah suatu badan kehakiman yaitu MK dan MA sesuai dengan pasal 24 (2) UUD 1945 dan KY hanyalah berwenang untuk mengisi hakim agung dan menjaga perilaku hakim pasal 24 B (1) UUD 1945. Apakah kewenangan MK dan MA sama? Tentulah sama akan tetapi berbeda dari segi sifatnya yaitu MK memiliki salah satu wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD dan MA memiliki kewenangan mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, yang dimana kewenangan tersebut tertuang dalam UUD 1945 pasal 24C (1) dan pasal 24 A (1). Walaupun KY bersentuhan langsung dengan kekuasaan kehakiman, terutama Mahkamah Agung. Yang dimana, cara KY melakukan tugasnya akan mencampuri Mahkamah Agung. Misalnya ada sebuah putusan yang keliru, hakim agung yang bersangkutan akan dipanggil oleh KY. Institusinya memang diperlukan sebab tidak mungkin ada kekuasaan tanpa pengawasan berdasarkan prinsip check and balances. Dengan dibentuknya KY yang akan mengungkap hakim yang keliru dll. Karena pada dasarnya, tidak ada kekuasaan yang tanpa pengawasan. Jadi, kesimpulannya adalah bahwa KY  tidak masuk dalam kategori eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sebagaimana halnya dengan KPK adalah sebuah lembaga baru dengan kewenangan yang sering disebut sebagai lembaga superbody yang memiliki kewenangan ekstra dibanding dengan lembaga negara lain. Maka, dengan hadirnya Komisi Yudisial (KY) hampir sama seperti yang dialami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Senin, 03 Februari 2014




                Apakah segala bentuk perbuatan atau tindakan warga Negara menjadi terbatas (kaku) dengan adanya suatu aturan hukum, yang dimana cita-cita hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat ataukah aturan hukum justru akan memperhambat jalannya suatu ketertiban masyarakat dikarenakan adanya batasan-batasan terhadap perilaku-perilaku individu maupun masyarakat? Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bebas dari segala hal dalam hal ini disebut sebagai intervensi dan pengejawantahannya terjuwud dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Nah, untuk menentukan suatu perbuatan atau tindakan tersebut salah/melanggar hukum (dalam bahasa hukumnya=tersangka) dengan menggunakan inti, rasio daripadanya (tidak berpegang pada aturan yang ada) ataukah berpegang pada bunyi suatu aturan yang semua kata-katanya dituruti?

               
              Di dalam ruang lingkup akademisi hukum yang menyangkut dengan suatu Negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yaitu Negara Indonesia dan lebih jelasnya terletak dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 bahwa “Indonesia adalah Negara hukum”. Lalu, hukum apakah yang dimaksud dalam UUD 1945 tersebut? Apakah hukum tertulis? Ataukah hukum itu harus sesuai dengan suatu kebiasaan masyarakat (tidak tertulis)? Dan perlu diketahui bahwa hukum itu bersifat empiris (indra).

               
              Berangkat dari klausul yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah Negara hukum” maka, yang menjadi pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis; berdasarkan pernyataan bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dan ini sebagai dalil yang kuat mengenai pertanggung jawaban pidana atas perbuatan yang telah dilakukannya yang disebut dengan criminal responsibility atau criminal liability.

               
            Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri disebut dengan criminal act yang berbeda dengan pertanggung jawaban pidana dan dasar inilah yang disebut asas legalitas (principle of legality) yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana jika tidak ditentukan atau tidak disebutkan dalam perundang-undangan. Bahasa latinnya adalah nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu yang berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum Jerman (1775-1833) dalam rumusannya berbentuk pepatah Latin tadi dalam bukunya; Lehrbuch des peinlichen Recht (1801).

               
                Dan perumusan asas legalitas tersebut itu kemudian dihubungkan dalam teorinya Von Feurbach juga bahwa “vom psycholigischen Zwang” yaitu menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan, dengan maksud bahwa siapa pun yang telah melakukan perbuatan pidana mengetahui larangan lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkannya kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan dan dengan demikian secara psikologis sudah ada tekaan untuk tidak berbuat. Dan kalaupun individu telah melakukan perbuatan yang dilarang, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Hal ini hukum diciptakan bukan untuk menciptakan ke-kaku-an dan bukan juga kebebasan (free will), akan tetapi asas legalitas tersebut mengandung makna sebagai jalan tengah (tidak memihak) antara kaku dan kebebasan agar individu atau masyarakat mendapatkan sebuah ketertiban yang berhubung dengan lancarnya pembangunan nasional (secara teoritis). Karena kalau dalam sebuah Negara menjunjung kebebasan yang sebebas bebasnya maka justru Negara tidak mendapatkan sebuah ketentraman diakibatkan hukum tidak diciptakan melalui sesuatu yang tertulis dan begitupun kalau sebuah Negara hanya sebuah aturan saja maka yang ada adalah dalam mengambil sebuah keputusan yaitu hakim hanyalah terompet undang-undang (menurut prof.achmad ali). Makanya penafsiran terhadap undang-undang tersebut dibutuhkan dalam mengkaji dan menganalisis suatu perbuatan dan tindak pidana dalam hal penjatuhan pemidanaan (pasal 10 KUHP) sebagai pembalasan menurut Von Feurbach.

               
Asas legalitas mengandung 3 pengertian, yaitu :

1.       Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang, di dalam teks Belanda disebutkan “wettelijke strafbepaling” yaitu aturan pidana dalam perundangan.

2.       Untuk menggunakan adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi (kias). Walaupun pada umumnya pernyataan tersebut masih dipakai oleh kebanyakan Negara-negara. Di Indonesia dan Belanda, masih mengakui prinsip ini, meskipun juga ada beberapa sarjana yang tidak dapat menyetujuinya misalnya Taverne,Pompe dan Jonkers. Prof.scholter menolak adanya perbedaan antra analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata dibolehkan dan menurutnya dalam hal tafsiran maupun ekstensif dasarnya adalah sama, yitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum/abstrak) dari norma yang ada. Lalu didedusir menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada), dan antara keduanya itu hanya ada perbedaan gradual/gradasi saja.

Contoh dari tafsiran ekstensif adalah putusan HR Negeri Belanda tahun 1921 dimana ditentukan mengenai benda dan barang dalam pasal 362 KUHP (pasal tentang pencurian) juga meliputi daya listrik secara tidak sah itu dapat dikenai pasal 362 KUHP tersebut.

Dan pendapat ini pun disetujui oleh Prof.Van Hattum dalam bukunya Handen leerboek van het Ned. Strafrecht. 1953. Akan tetapi beliau menolak analogi dalam menentukan perbuatan pidana dan juga menolak tafsiran ekstensif. Dan menurut Prof. Moeljatno dalam karyannya menyatakan bahwa, apakah dalam pencurian daya listrik itu dianggap sebagai suatu benda dan barang karena tafsiran ekstensif atapun karena peralihan makna dari kata goed (benda&barang), itu hanyalah berlainan kta-kata saja. Yang terang adalah pada waktu wetboek van strafhrecht dibentuk hanya bermakna sebaga barang berwujud saja, sedangkan maknanya pada masa sekarang juga meliputi barang yang tidak berwujud. Dan analogi maupun ekstensif itu perlu dengan batasan yang jelas, yaitu sampai dimana yang masih dapat dikatakan sebagai interpretasi dan manakah yang sudah meningkat ke analogi, sehingga tidak diperbolehkan. Maksudnya adalah dalam pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang ada, yang mengenai perbuatan yang mirip dengan itu. Karena termasuk dalam inti suatu aturan yang ada, maka perbuatan tersebut dapat dikenai dengan yang tertulis dengan menggunakan analogi. Jadi sesungguhnya jika digunakan analogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan tertentu, bukanlah dari apa yang tertulis, tetapi rasio inti dan aturan yang ada, sesuai dengan pengaturan tentang kekuasaan kehakiman terbaru adalah UU No. 48 Tahun 2009. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 

3.       Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.