Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Jumat, 03 Juni 2016



           Hidup yang terpahami adalah kematian yang sesungguhnya, dan kematian yang terpahami adalah awal dari langkah untuk memulai kehidupan. Cahaya yang terpahami akan mengantarkan diri bahwa pemahaman diri yang begitu gelap menuju kesenantiasaan butuh terhadap cahaya untuk melangkah, laksana tumbuhan yang membutuhkan cahaya matahari untuk dapat bertahan.

                Aku memulai kehidupan dengan melihat kebiasaan orang banyak, lalu aku menikmatinya dengan rasa bangga karena apa yang kulakukan adalah hal yang lazim bagi semua orang. Kebanggaan senantiasa membawa diri untuk terus mencari sesuatu yang lain. Ternyata  sesuatu yang dicari, didapatkan lalu dinikmati hanya singgah pada singgasana ruang yang tak bertepi. Layaknya seperti hidangan makanan yang kenikmatannya hanya di tenggorokan lalu pergi untuk dicerna.

            Ciptaan ada karena pencipta itu eksis, itulah alasan mengapa setiap ciptaan butuh kepada pencipta untuk hidup, hanya saja ada yang belum merasakan kenikmatan bersandar kepada yang pantas. Ruang demi ruang ku telusuri, kata orang “ jadilah diri sendiri” ternyata menjadi diri sendiri itu adalah menemukan jati diri yang sesungguhnya. 

                Jalan kemanusiaan selalu memiliki alternatif yang progresif untuk dikontemplasikan bagi mereka yang intensif merajut realitas. Menulis, mungkin sebuah hal yang hampir  tak pernah ada dalam pahaman seorang untuk menjadi seorang penulis. Menulis bukan seperti pengusaha yang hanya mencari keuntungan, bukan seperti presiden yang terpilih melalui pemilu, bukan seperti hakim yang menganalisis fenomena sosial. Tapi menulis adalah hal yang begitu indah, melampaui batas fenomena yang ada, tidak mencari jabatan dan tidak mencari keuntungan. Karena menulis tertuang di atas kertas, mengaktualisasikan pemikiran dan menceritakan ide kepada manusia melalui tulisan. Bukankah realitas ide adalah tulisan? Bukankah lisan terbatas kepada ruang dan waktu untuk memberi? Bukankah warisan yang kekal adalah tulisan dari generasi ke generasi?

                Karena itu saya haturkan rasa syukur kepada Sang Pencipta memberi cahaya melalui perantara yang Dia Kehendaki, kepada manusia suci (teladan) memberi dan mempertahankan warisan risalah Iahi, kepada seorang ulama memberi penafsiran terhadap ayat-ayat suci, kepada seorang guru memberi khazanah pengetahuan kepada muridnya dan kepada teman kerabat memberi ruang diskusi dan pemahaman kritis untuk menjaga harmonisasi alam semesta. Buku di bawah ini (hukum sebagai persepsi) adalah karya pertama dan persembahanku kepada mereka yang terlibat dalam kehidupanku dan akan kulibatkan diriku bagi mereka yang belum terlibat:

 
Pengantar buku ini, di tulisan selanjutnya digambarkan dalam blog ini :
“Hukum sebagai persepsi”
                 

0 komentar: