Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Sabtu, 17 Agustus 2013

       Apakah pelanggaran HAM berat diselesaikan oleh KKR ataukah pengadilan HAM? Apakah perkaranya tidak dapat lagi diajukan kepada pengadilan HAM ? bagaimanakah sebenarnya pelanggaran HAM untuk diproses melalui KKR? Adakah pasal yang mengatur tentang hal ini? Lantas, mengapa hal ini terjadi dan bagaimanakah semestinya?mari kita lihat !


KKR adalah lembaga independen dan ekstra yudisial yg dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM yg berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan yg terjadi pada masa sebelum berlakunya UU no.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan melaksanakan rekonsoliasi. Rekonsoliasi mempunyai makna tersendiri yaitu sebagai hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan dan pengampunan melalui KKR. Dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa Indonesia (asas KKR yaitu kemandirian, bebas dan tidak memihak, kemaslahatan, keadilan, kejujuran, keterbukaan, perdamaian dan persatuan bangsa). Pada pasal 47 UU no.26 tahun 2000 menentukan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU no.26 tahun 2000, tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yg akan dibentuk dengan UU. Pengaturan antisipatif (tanggap) ini nampaknya dilakukan dengan memperhitungkan ke berbagai kendala yg mungkin menghadang proses pengadilan HAM  berat ad hoc terhadap kasus-kasus masa lalu, yang terpaksa memberlakukan ketentuan hukum pidana secara ‘retroaktif’ (berlaku surut).

       
      Pengadilan HAM mempunyai kendala yaitu masalah pembuktian yang cukup rumit mengingat kejadiannya sudah lama, implikasi politis yg timbul yaitu menumbuhkan sikap pro-kontra, rasa ketidakpuasan korban yg memicu keraguan, acuh tak acuh dan ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum dan kesan terjadinya ‘impunity’ (yaitu Negara dianggap memberikan pembebasan terhadap pelaku dari rasa tanggung jawab dan sanksi). Hal ini jelas tidak sepantasnya berlarut-larut sehingga mengganggu proses persatuan nasional. Secara empiris (indrawi), pengadilan HAM ad hoc  dibentuk oleh penguasa pasca pemerintahan yg otoriter atas pasca perang dan apapun bentuknya baik nasional, internasional maupun gabungan memiliki karakteristik khusus yaitu semangat mengamankan penghormatan terhadap HAM, yaitu berusaha menciptakan keadilan bagi semuanya, mengakhiri praktek, mencegah kejadian serupa di masa yang akan datang dan upaya mengakhiri konflik. Nantinya KKR sebagai alternatif pengadilan HAM ad hoc jg harus mengamankan pelbagai spirit tersebut.


        Dan sebaliknya dalam pasal 29 ayat 3 UU no.27 tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam hal ini tersangka pelaku pelanggaran HAM berat tidak tersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak menyesali perbuatannya, maka yg bersangkutan kehilangan haknya mendapat amnesti (pengampunan atau penghapusan hukuman yg diberikan kepala negara kpd seseorang atau sekelompok orang yg telah melakukan tindak pidana tertentu) dan diajukan ke pengadilan HAM ad hoc. Dan demi kepastian hukum, dalam pasal 44 UU no.27 tahun 2004 mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh KKR, perkaranya tidak dapat lagi diajukan kepada pengadilan HAM ad hoc, dalam hal ini menutup kemungkinan untuk diproses melalui KKR. Kenyataannya ada berbagai KKR di setiap Negara. Namun jika dipandang dari segi karakteristik, KKR Indonesia lebih mirip dengan KKR Afrika Selatan, yg terdiri atas subkomisi yaitu ; Indonesia_(subkomisi penyelidikan dan klarifikasi), (subkomisi kompensasi, restitusi dan rehabilitasi) dan (subkomisi pertimbangan amnesti).


       Dengan perumusan tersebut sebagaimana tersurat dan tersirat pada pasal 29 ayat 3 di atas maka sebenarnya pengadilan HAM dan KKR bersifat komplementer (saling melengkapi).

bersambung......

0 komentar: