Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 18 Agustus 2013
lanjutan dari tulisan ; PENGADILAN HAM dan KOMISI KEBENARAN DAN REKONSOLIASI
       

            Pembentukan KKR di berbagai Negara, menciptakan pergeseran konsep keadilan dalam penyelesaian perkara pidana yaitu keadilan atas dasar pembalasan yg melekat pd sistem peradilan pidana, ke arah keadilan dalam KKR yg bersifat keadilan restoratif, yaitu menekankan betapa pentingnya aspek restoratif atas si pelaku penyembuhan bagi mereka yang menderita karena tindakan kejahatan.
              
               Yaitu fokus primer bergeser dari pelaku kepada si korban (victim). Proses KKR tidaklah bertujuan semata-mata untuk menghukum atau mempermalukan seseorang atau menuntut tetapi lebih pd usaha untuk memperoleh kebenaran yg pada akhirnya bermanfaat untuk membantu pemulihan hubungan yg tidak harmonis antara pelaku, korban dan masyarakat yg ketiga-tiganya pd dasarnya merupakan korban kejahatan. Perlindungan dan pemulihan hak-hak korban dan masyarakat luas dipandang sama pentingnya dengan pemidanaan dan atau rehabilitasi pelaku kejahatan. Dengan demikian secara integrasi dilihat adanya saling membutuhkan satu sama lain. Perlakuan terhadap korban dan pelaku ditempatkan dalam posisi yg sama pentingnya dalam satu bangunan sosial.
               
             Dengan pengertian yg dikembangkan adalah pemahaman sebagai ganti pembalasan, reparasi sebagai ganti retaliasi dan rekonsoliasi (menyelesaikan perbedaan) sebagai ganti viktimisasi. Namun tetap dipegang teguh bahwa adanya prinsip memaafkan bukanlah mengabaikan apa yang telah terjadi. Dalam hal ini realitas di hadapan masyarakat dianggap tidak kurang manfaatnya dibandingkan dengan pengakuan melalui lembaga-lembaga penegak hukum. Tidak diingkari bahwa sistem peradilan pidana telah mendemonstrasikan keberhasilannya dalam menuntut dan memenjara seseorang, tetapi selalu gagal untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Seharusnya korban kejahatan harus diperlakukan secara bermartabat dan pelaku serta korban harus dirukunkan kembali. Pelaku tidak hanya harus ke dalam masyarakat agar menjadi warga negara yang produktif.

Sabtu, 17 Agustus 2013

       Apakah pelanggaran HAM berat diselesaikan oleh KKR ataukah pengadilan HAM? Apakah perkaranya tidak dapat lagi diajukan kepada pengadilan HAM ? bagaimanakah sebenarnya pelanggaran HAM untuk diproses melalui KKR? Adakah pasal yang mengatur tentang hal ini? Lantas, mengapa hal ini terjadi dan bagaimanakah semestinya?mari kita lihat !


KKR adalah lembaga independen dan ekstra yudisial yg dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM yg berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan yg terjadi pada masa sebelum berlakunya UU no.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan melaksanakan rekonsoliasi. Rekonsoliasi mempunyai makna tersendiri yaitu sebagai hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan dan pengampunan melalui KKR. Dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa Indonesia (asas KKR yaitu kemandirian, bebas dan tidak memihak, kemaslahatan, keadilan, kejujuran, keterbukaan, perdamaian dan persatuan bangsa). Pada pasal 47 UU no.26 tahun 2000 menentukan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU no.26 tahun 2000, tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yg akan dibentuk dengan UU. Pengaturan antisipatif (tanggap) ini nampaknya dilakukan dengan memperhitungkan ke berbagai kendala yg mungkin menghadang proses pengadilan HAM  berat ad hoc terhadap kasus-kasus masa lalu, yang terpaksa memberlakukan ketentuan hukum pidana secara ‘retroaktif’ (berlaku surut).

       
      Pengadilan HAM mempunyai kendala yaitu masalah pembuktian yang cukup rumit mengingat kejadiannya sudah lama, implikasi politis yg timbul yaitu menumbuhkan sikap pro-kontra, rasa ketidakpuasan korban yg memicu keraguan, acuh tak acuh dan ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum dan kesan terjadinya ‘impunity’ (yaitu Negara dianggap memberikan pembebasan terhadap pelaku dari rasa tanggung jawab dan sanksi). Hal ini jelas tidak sepantasnya berlarut-larut sehingga mengganggu proses persatuan nasional. Secara empiris (indrawi), pengadilan HAM ad hoc  dibentuk oleh penguasa pasca pemerintahan yg otoriter atas pasca perang dan apapun bentuknya baik nasional, internasional maupun gabungan memiliki karakteristik khusus yaitu semangat mengamankan penghormatan terhadap HAM, yaitu berusaha menciptakan keadilan bagi semuanya, mengakhiri praktek, mencegah kejadian serupa di masa yang akan datang dan upaya mengakhiri konflik. Nantinya KKR sebagai alternatif pengadilan HAM ad hoc jg harus mengamankan pelbagai spirit tersebut.


        Dan sebaliknya dalam pasal 29 ayat 3 UU no.27 tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam hal ini tersangka pelaku pelanggaran HAM berat tidak tersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak menyesali perbuatannya, maka yg bersangkutan kehilangan haknya mendapat amnesti (pengampunan atau penghapusan hukuman yg diberikan kepala negara kpd seseorang atau sekelompok orang yg telah melakukan tindak pidana tertentu) dan diajukan ke pengadilan HAM ad hoc. Dan demi kepastian hukum, dalam pasal 44 UU no.27 tahun 2004 mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh KKR, perkaranya tidak dapat lagi diajukan kepada pengadilan HAM ad hoc, dalam hal ini menutup kemungkinan untuk diproses melalui KKR. Kenyataannya ada berbagai KKR di setiap Negara. Namun jika dipandang dari segi karakteristik, KKR Indonesia lebih mirip dengan KKR Afrika Selatan, yg terdiri atas subkomisi yaitu ; Indonesia_(subkomisi penyelidikan dan klarifikasi), (subkomisi kompensasi, restitusi dan rehabilitasi) dan (subkomisi pertimbangan amnesti).


       Dengan perumusan tersebut sebagaimana tersurat dan tersirat pada pasal 29 ayat 3 di atas maka sebenarnya pengadilan HAM dan KKR bersifat komplementer (saling melengkapi).

bersambung......
Selasa, 13 Agustus 2013

                Terkadang kita mengeluarkan kata seperti : setan atau iblis. Apakah setan dan iblis itu berbeda atau sama? Dimana letak perbedaannya? Lantas, bagaimana pandangan Al-Qur’an mengenai setan dan iblis? Siapa-siapa saja yang termasuk golongan setan di dunia ini?  Berbicara masalah waktu, apakah setan dipenjara/dikurung selama bulan puasa?
                Setan dan iblis mempunyai arti yang berbeda. Menurut pandangan Al-Qur’an , itu diberlakukan kepada kekuatan-kekuatan yang menciptakan penyimpangan, kejahatan dan penyelewengan. Berdasarkan ini, kita temukan dalam Al Qur’an yaitu “ setan-setan diantara golongan manusia dan jin” dalam artian bahwa manusia-manusia ada yang mengenakan pakaian, berbuat dan berjalan sesuai dengan dengan sifat setan itu sendiri, serta setan-setan yang dari jenis jin. Dan setan-setan terkadang berada di dalam diri manusia (yaitu sifat egoisme, hasrat rendah, ketamakan, kemarahan, kealpaan dan sebagainya. Dan kadang pula berada di luar manusia (aksiden) misalnya seperti  yang menduduki sebagai jabatan, pemimpin agama(ulama), penguasa, penjahat keras kepala, busuk, kejadian yang merangsang birahi dan lain-lain. Dan pada saat bulan ramadhan mungkin ada makhluk berwujud manusia tapi perlakuan atau tindakannya seperti setan.
                Sekarang, seandainya kita tidak memanjakan setan dalam diri kita sebagai manusia biasa, maka setan-setan di luar tidak akan bisa mempengaruhi diri kita. Karena alasan tersebut tidak bisa kita mempersalahkan penyimpangan kita sendiri pada kondisi –kondisi sosial atau mereka yang menggiring kita pada kealpaan. Di dalam al-qur’an sendiri disebutkan ada pertengkaran antara kaum mustakbirin dan kaum tertindas pada hari keputusan. Kaum tertindas menuduh golongan kaum mustakbirin telah menyesatkan mereka tetapi pihak kedua membantah dan menyangga bahwa mereka sendiri semestinya tidak mendengarkan mereka.  Mereka berdua sama-sama mengatakan kebenaran dan pada waktu yang sama, kedua-duanya dijatuhi hukuman.
                Sedangkan jin berasal dari jana yaitu terhalang atau tak terlihat. Sedangkan Ifrit merupakan salah satu jenis dari golongan jin yang memiliki kekuatan besar serta dia memiliki kemampuan untuk membunuh manusia. Dalam tafsir surat An-Nas, Qatadah berkata : “Sesungguhnya dari jin dan manusia terdapat setan-setan”. Dalam surah Al-An’am (112) dikatakan “”Dan demikian lah Aku jadikan untuk setiap nabi musuh dari setan-setan manusia dan jin”. Dalam buku “Hayatul Hayawan al-Kubra” karangan Dumairi : semua jin adalah keturunan Iblis. Namun dikatakan juga bahwa Jin merupakan satu rumpun, sedangkan Iblis adalah satu dari mereka. Jin juga mempunyai keturunan,seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Kahf (55) “Apakah kalian akan menjadikan mereka (jin) dan keturunanya sebagai kekasih selain Aku (Allah) padahal mereka adalah musuh kalian”. Mereka yang kafir dari kaum jin disebut setan. Semua yang durhaka dan membangkang dari manusia, jin dan hewan disebut setan. Orang Arab menyebut ular sebagai setan. Yang terpenting bagi umat manusia adalah meyakini bahwa setan adalah musuh mereka dan selalu berusaha untuk menyesatkannya dan menjauhkannya dari jalan Allah. Kita dilarang menyembah atau menuruti kata setan.  Dalam surah Yasin (60) dikatakan “Bukankah Aku (Allah) telah membuat perjanjian kepadamu hai bani Adam agar kalian tidak menyembah setan, mereka adalah musuh yang paling jelas”. Demikian juga dalam surah Fathir (6) “Sesungguhnya setan adalah musuh kalian maka jadikanlah mereka musuh”. Dan banyak dalil-dalil yang mengingatkan kita agar hati-hati terhadap tipu daya dan rayuan setan ini.