Popular Posts
-
Karangan ini saya buat berdasarkan apa yang saya ketahui dan apa yang saya dapatkan di bangku perkuliahan Fakultas Hukum Universitas ...
-
Suatu wacana yang menarik ketika kita mengkaji filosof dan ilmuwan. Apakah filosof (ahli filsafat ilmu) dan ilmuwan i...
-
Ketika Wortley, mengemukakan bahwa : “ Jurisprudence is the knowledge of law in its various forms and manifestations ” ...
-
Suatu hal yang menarik ketika kita mengkaji, dengan dibentuknya beberapa komisi-komisi negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantas...
-
Berbicara mengenai kriminologi, otomatis tidak lepas dari pembahasan masalah kejahatan dan merupakan salah satu ilmu pemb...
-
Apakah kita hidup di dunia ataukah kita diciptakan di muka bumi ini dengan tujuan atau perspektif kita terhadap diri kita bahwa d...
-
Apakah segala bentuk perbuatan atau tindakan warga Negara menjadi terbatas (kaku) dengan adanya suatu aturan hukum, ...
-
Untuk memahami apa itu filsafat, mari kita lihat pendapat-pendapat para ahli tentang pengertian filsafat : 1. Plato (427 SM...
-
Berbicara mengenai konsep kekinian, tentu manusia tidak terlepas dari apa yang dibutuhkan atau yang dinginkannya yaitu belajar. Apa...
-
Hidup yang terpahami adalah kematian yang sesungguhnya, dan kematian yang terpahami adalah awal dari langkah untuk memulai...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Blog Archive
Kategori
- Agama ( 6 )
- Hukum & Sosial ( 13 )
- Logika & Filsafat ( 10 )
- Motivasi ( 5 )
- Puisi ( 2 )
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 18 Agustus 2013
lanjutan dari tulisan ; PENGADILAN HAM dan KOMISI KEBENARAN DAN REKONSOLIASI
Pembentukan KKR di berbagai Negara, menciptakan pergeseran konsep keadilan dalam penyelesaian perkara pidana yaitu keadilan atas dasar pembalasan yg melekat pd sistem peradilan pidana, ke arah keadilan dalam KKR yg bersifat keadilan restoratif, yaitu menekankan betapa pentingnya aspek restoratif atas si pelaku penyembuhan bagi mereka yang menderita karena tindakan kejahatan.
Pembentukan KKR di berbagai Negara, menciptakan pergeseran konsep keadilan dalam penyelesaian perkara pidana yaitu keadilan atas dasar pembalasan yg melekat pd sistem peradilan pidana, ke arah keadilan dalam KKR yg bersifat keadilan restoratif, yaitu menekankan betapa pentingnya aspek restoratif atas si pelaku penyembuhan bagi mereka yang menderita karena tindakan kejahatan.
Yaitu fokus
primer bergeser dari pelaku kepada si korban (victim). Proses KKR tidaklah bertujuan
semata-mata untuk menghukum atau mempermalukan seseorang atau menuntut tetapi
lebih pd usaha untuk memperoleh kebenaran yg pada akhirnya bermanfaat untuk
membantu pemulihan hubungan yg tidak harmonis antara pelaku, korban dan masyarakat
yg ketiga-tiganya pd dasarnya merupakan korban kejahatan. Perlindungan dan
pemulihan hak-hak korban dan masyarakat luas dipandang sama pentingnya dengan
pemidanaan dan atau rehabilitasi pelaku kejahatan. Dengan demikian secara
integrasi dilihat adanya saling membutuhkan satu sama lain. Perlakuan terhadap
korban dan pelaku ditempatkan dalam posisi yg sama pentingnya dalam satu
bangunan sosial.
Dengan pengertian
yg dikembangkan adalah pemahaman sebagai ganti pembalasan, reparasi sebagai ganti
retaliasi dan rekonsoliasi (menyelesaikan perbedaan) sebagai ganti viktimisasi.
Namun tetap dipegang teguh bahwa adanya prinsip memaafkan bukanlah mengabaikan
apa yang telah terjadi. Dalam hal ini realitas di hadapan masyarakat dianggap
tidak kurang manfaatnya dibandingkan dengan pengakuan melalui lembaga-lembaga
penegak hukum. Tidak diingkari bahwa sistem peradilan pidana telah mendemonstrasikan
keberhasilannya dalam menuntut dan memenjara seseorang, tetapi selalu gagal
untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Seharusnya korban
kejahatan harus diperlakukan secara bermartabat dan pelaku serta korban harus
dirukunkan kembali. Pelaku tidak hanya harus ke dalam masyarakat agar menjadi
warga negara yang produktif.
Label:
Hukum & Sosial
|
0
komentar
Sabtu, 17 Agustus 2013
Apakah pelanggaran HAM berat diselesaikan oleh KKR ataukah
pengadilan HAM? Apakah perkaranya tidak dapat lagi diajukan kepada pengadilan
HAM ? bagaimanakah sebenarnya
pelanggaran HAM untuk diproses melalui KKR? Adakah pasal yang mengatur tentang
hal ini? Lantas, mengapa hal ini terjadi dan bagaimanakah semestinya?mari kita
lihat !
KKR adalah lembaga independen dan
ekstra yudisial yg dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM
yg berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan yg terjadi pada masa sebelum
berlakunya UU no.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan melaksanakan
rekonsoliasi. Rekonsoliasi mempunyai makna tersendiri yaitu sebagai hasil dari
suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan dan pengampunan melalui KKR. Dalam
rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian
dan persatuan bangsa Indonesia (asas KKR yaitu kemandirian, bebas dan tidak
memihak, kemaslahatan, keadilan, kejujuran, keterbukaan, perdamaian dan
persatuan bangsa). Pada pasal 47 UU no.26 tahun 2000 menentukan bahwa
pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU no.26 tahun 2000,
tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yg akan dibentuk
dengan UU. Pengaturan antisipatif (tanggap) ini nampaknya dilakukan dengan
memperhitungkan ke berbagai kendala yg mungkin menghadang proses pengadilan HAM
berat ad hoc terhadap kasus-kasus masa lalu, yang terpaksa memberlakukan
ketentuan hukum pidana secara ‘retroaktif’ (berlaku surut).
Pengadilan
HAM mempunyai kendala yaitu masalah pembuktian yang cukup rumit mengingat
kejadiannya sudah lama, implikasi politis yg timbul yaitu menumbuhkan sikap
pro-kontra, rasa ketidakpuasan korban yg memicu keraguan, acuh tak acuh dan
ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum dan kesan terjadinya ‘impunity’ (yaitu Negara
dianggap memberikan pembebasan terhadap pelaku dari rasa tanggung jawab dan
sanksi). Hal ini jelas tidak sepantasnya berlarut-larut sehingga mengganggu proses
persatuan nasional. Secara empiris (indrawi), pengadilan HAM ad hoc dibentuk oleh penguasa pasca pemerintahan yg
otoriter atas pasca perang dan apapun bentuknya baik nasional, internasional
maupun gabungan memiliki karakteristik khusus yaitu semangat mengamankan
penghormatan terhadap HAM, yaitu berusaha menciptakan keadilan bagi semuanya,
mengakhiri praktek, mencegah kejadian serupa di masa yang akan datang dan upaya
mengakhiri konflik. Nantinya KKR sebagai alternatif pengadilan HAM ad hoc jg harus mengamankan pelbagai
spirit tersebut.
Dan sebaliknya
dalam pasal 29 ayat 3 UU no.27 tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam hal ini
tersangka pelaku pelanggaran HAM berat tidak tersedia mengakui kebenaran dan
kesalahannya serta tidak menyesali perbuatannya, maka yg bersangkutan
kehilangan haknya mendapat amnesti (pengampunan atau penghapusan hukuman yg
diberikan kepala negara kpd seseorang atau sekelompok orang yg telah melakukan
tindak pidana tertentu) dan diajukan ke pengadilan HAM ad hoc. Dan demi kepastian hukum, dalam pasal 44 UU no.27 tahun
2004 mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat telah diungkapkan dan diselesaikan
oleh KKR, perkaranya tidak dapat lagi diajukan kepada pengadilan HAM ad hoc, dalam hal ini menutup kemungkinan
untuk diproses melalui KKR. Kenyataannya ada berbagai KKR di setiap Negara. Namun
jika dipandang dari segi karakteristik, KKR Indonesia lebih mirip dengan KKR
Afrika Selatan, yg terdiri atas subkomisi yaitu ; Indonesia_(subkomisi
penyelidikan dan klarifikasi), (subkomisi kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi) dan (subkomisi pertimbangan amnesti).
Dengan perumusan
tersebut sebagaimana tersurat dan tersirat pada pasal 29 ayat 3 di atas maka
sebenarnya pengadilan HAM dan KKR bersifat komplementer (saling melengkapi).
bersambung......
bersambung......
Label:
Hukum & Sosial
|
0
komentar
Selasa, 13 Agustus 2013
Terkadang
kita mengeluarkan kata seperti : setan atau iblis. Apakah setan dan iblis itu
berbeda atau sama? Dimana letak perbedaannya? Lantas, bagaimana pandangan
Al-Qur’an mengenai setan dan iblis? Siapa-siapa saja yang termasuk golongan
setan di dunia ini? Berbicara masalah
waktu, apakah setan dipenjara/dikurung selama bulan puasa?
Setan
dan iblis mempunyai arti yang berbeda. Menurut pandangan Al-Qur’an , itu
diberlakukan kepada kekuatan-kekuatan yang menciptakan penyimpangan, kejahatan
dan penyelewengan. Berdasarkan ini, kita temukan dalam Al Qur’an yaitu “
setan-setan diantara golongan manusia dan jin” dalam artian bahwa
manusia-manusia ada yang mengenakan pakaian, berbuat dan berjalan sesuai dengan
dengan sifat setan itu sendiri, serta setan-setan yang dari jenis jin. Dan
setan-setan terkadang berada di dalam diri manusia (yaitu sifat egoisme, hasrat
rendah, ketamakan, kemarahan, kealpaan dan sebagainya. Dan kadang pula berada
di luar manusia (aksiden) misalnya seperti
yang menduduki sebagai jabatan, pemimpin agama(ulama), penguasa,
penjahat keras kepala, busuk, kejadian yang merangsang birahi dan lain-lain.
Dan pada saat bulan ramadhan mungkin ada makhluk berwujud manusia tapi
perlakuan atau tindakannya seperti setan.
Sekarang,
seandainya kita tidak memanjakan setan dalam diri kita sebagai manusia biasa,
maka setan-setan di luar tidak akan bisa mempengaruhi diri kita. Karena alasan
tersebut tidak bisa kita mempersalahkan penyimpangan kita sendiri pada kondisi
–kondisi sosial atau mereka yang menggiring kita pada kealpaan. Di dalam
al-qur’an sendiri disebutkan ada pertengkaran antara kaum mustakbirin dan kaum
tertindas pada hari keputusan. Kaum tertindas menuduh golongan kaum mustakbirin
telah menyesatkan mereka tetapi pihak kedua membantah dan menyangga bahwa
mereka sendiri semestinya tidak mendengarkan mereka. Mereka berdua sama-sama mengatakan kebenaran
dan pada waktu yang sama, kedua-duanya dijatuhi hukuman.
Sedangkan
jin berasal dari jana yaitu terhalang atau tak terlihat. Sedangkan Ifrit
merupakan salah satu jenis dari golongan jin yang memiliki kekuatan besar serta
dia memiliki kemampuan untuk membunuh manusia. Dalam tafsir surat An-Nas,
Qatadah berkata : “Sesungguhnya dari jin dan manusia terdapat setan-setan”.
Dalam surah Al-An’am (112) dikatakan “”Dan demikian lah Aku jadikan untuk
setiap nabi musuh dari setan-setan manusia dan jin”. Dalam buku “Hayatul
Hayawan al-Kubra” karangan Dumairi : semua jin adalah keturunan Iblis. Namun
dikatakan juga bahwa Jin merupakan satu rumpun, sedangkan Iblis adalah satu
dari mereka. Jin juga mempunyai keturunan,seperti dijelaskan dalam al-Qur’an
surah al-Kahf (55) “Apakah kalian akan menjadikan mereka (jin) dan keturunanya
sebagai kekasih selain Aku (Allah) padahal mereka adalah musuh kalian”. Mereka
yang kafir dari kaum jin disebut setan. Semua yang durhaka dan membangkang dari
manusia, jin dan hewan disebut setan. Orang Arab menyebut ular sebagai setan.
Yang terpenting bagi umat manusia adalah meyakini bahwa setan adalah musuh
mereka dan selalu berusaha untuk menyesatkannya dan menjauhkannya dari jalan
Allah. Kita dilarang menyembah atau menuruti kata setan. Dalam surah Yasin (60) dikatakan “Bukankah
Aku (Allah) telah membuat perjanjian kepadamu hai bani Adam agar kalian tidak
menyembah setan, mereka adalah musuh yang paling jelas”. Demikian juga dalam
surah Fathir (6) “Sesungguhnya setan adalah musuh kalian maka jadikanlah mereka
musuh”. Dan banyak dalil-dalil yang mengingatkan kita agar hati-hati terhadap
tipu daya dan rayuan setan ini.
Label:
Agama
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)