Popular Posts
-
Karangan ini saya buat berdasarkan apa yang saya ketahui dan apa yang saya dapatkan di bangku perkuliahan Fakultas Hukum Universitas ...
-
Suatu wacana yang menarik ketika kita mengkaji filosof dan ilmuwan. Apakah filosof (ahli filsafat ilmu) dan ilmuwan i...
-
Ketika Wortley, mengemukakan bahwa : “ Jurisprudence is the knowledge of law in its various forms and manifestations ” ...
-
Suatu hal yang menarik ketika kita mengkaji, dengan dibentuknya beberapa komisi-komisi negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantas...
-
Berbicara mengenai kriminologi, otomatis tidak lepas dari pembahasan masalah kejahatan dan merupakan salah satu ilmu pemb...
-
Apakah kita hidup di dunia ataukah kita diciptakan di muka bumi ini dengan tujuan atau perspektif kita terhadap diri kita bahwa d...
-
Apakah segala bentuk perbuatan atau tindakan warga Negara menjadi terbatas (kaku) dengan adanya suatu aturan hukum, ...
-
Untuk memahami apa itu filsafat, mari kita lihat pendapat-pendapat para ahli tentang pengertian filsafat : 1. Plato (427 SM...
-
Berbicara mengenai konsep kekinian, tentu manusia tidak terlepas dari apa yang dibutuhkan atau yang dinginkannya yaitu belajar. Apa...
-
Hidup yang terpahami adalah kematian yang sesungguhnya, dan kematian yang terpahami adalah awal dari langkah untuk memulai...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Blog Archive
Kategori
- Agama ( 6 )
- Hukum & Sosial ( 13 )
- Logika & Filsafat ( 10 )
- Motivasi ( 5 )
- Puisi ( 2 )
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 19 April 2020
Akibat
hukum adalah suatu keadaan/peristiwa yang ditimbulkan dari adanya peristiwa
hukum, dimana akibat hukum menimbulkan suatu konsekuensi tertentu tergantung
dari sebab hukum yang telah terjadi.
Hujan
merupakan suatu peristiwa alam akan tetapi tidak termasuk peristiwa hukum jika
tidak terdapat hubungan hukum di dalamnya/atau yang terkait dengan peristiwa
dimaksud.
Dengan
diterbitkannya Keputusan Presiden No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana
Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) sebagai Bencana
Nasional (selanjutnya disebut “Keppres 12/2020”) tentu memiliki akibat hukum
tertentu, dimana Keputusan Presiden adalah suatu penetapan administratif yang
sifatnya konkrit, individual dan final, disebut Beschikking.
Terkait
hal tersebut, menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat hukum, khususnya bagi para
pelaku usaha yang mengakibatkan dampak serius secara ekonomis berkaitan dengan
transaksi yang telah terikat di dalam perjanjian.
1.
Apakah
diktum-diktum yang tercantum di dalam Kepress 12/2020 menyatakan bahwa Covid-19
sebagai bencana nasional disebut sebagai keadaan kahar/Force majeure?
2.
Apakah
para pihak yang berada di dalam perjanjian dapat menjadikan covid-19 sebagai
suatu keadaan force majeure sekalipun tidak disebutkan secara khusus di dalam
klausul perjanjian?
3.
Apa
akibat hukum setelah terbitnya Keppres 12/2020 tersebut?
4.
Bagaimana
solusi terhadap transaksi hukum yang telah terikat di dalam perjanjian jika
Covid-19 tidak termasuk Force Majeure?
Secara
umum, Force Majeure adalah suatu keadaan yang terjadi bukan karena kontrak,
melainkan demi hukum. Sepanjang tidak diperjanjikan lain, aturan kahar dalam
KUH Perdata berlaku.
Dalam
lingkungan kontrak bisnis, kegagalan memenuhi kewajiban salah satu pihak di
dalam perjanjian alias wanprestasi acapkali dapat dibenarkan oleh hukum jika
orang yang tak memenuhi prestasi dapat membuktikan ada halangan yang tak dapat dihindari/di
luar kemampuan pihak yang harus memenuhi kewajiban.
Force
majeure secara materiil dapat ditinjau dari 2 sudut pandang yakni secara mutlak
dan relatif, secara mutlak gempa bumi, longsor dan sejenisnya (karena suatu
keadaan alam) dan secara relatif huru-hara dan tersebarnya covid-19 (karena
suatu keadaan nonalam).
Dasar
hukumnya force majeure berada pada pasal 1245 KUHPerdata. Pasal ini
menyebutkan: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena
keadaan memaksa [overmacht] atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si
berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Menjawab
pertanyaan pertama, diktum-diktum yang tercantum di dalam Keppres 12/2020 tidak
mencantumkan secara tegas bahwa covid-19 sebagai suatu keadaan kahar/force
majeure/overmacht.
Kedua,
Meskipun para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis tidak pernah
memperjanjikan kondisi pandemik covid-19 sebagai bagian dari force
majeure, pembebasan itu tetap berlaku berdasarkan Pasal 1245
KUHPerdata secara materiil dalam artian tergantung dari kesepakatan pihak yang
memiliki hak untuk menerima kewajiban dari pihak lainnya untuk pemenuhan
prestasi, namun secara formil jika tidak diperjanjikan secara tegas, maka hal
itu bisa menjadi dasar bahwa covid-19 bukanlah sebagai suatu keadaan force
majeure apalagi jika pihak debitur memiliki kemampuan untuk memenuhi
kewajiban/prestasi karena sesuatu yang telah tercantum secara tertulis tidak
bisa diartikan lain selain daripada apa yang telah disepakati sebelumnya.
Ketiga,
akibat hukum dikeluarkannya Keppres 12/2020 tidak memberikan efek/akibat hukum
terkait dengan keadaan kahar bagi penyebaran covid-19.
Keempat,
pihak debitur yang ada di dalam perjanjian dapat melakukan surat secara resmi
(dokumentasi hukum) dengan menyebutkan alasan khsuus covid-19 sebagai keadaan
force majeure, jika pihak kreditur tidak menerima alasan tersebut, maka pihak
debitur tetap wajib untuk memenuhi prestasi karena covid-19 hanya dapat
dijadikan sebagai alasan sosial (berita terkait korban dari penyebaran
covid-19) dan ekonomi (transaksi pembayaran tertunda karena manajemen
keuangan), akan tetapi karena secara hukum, belum terjadi penetapan covid-19 belum
dikategorikan sebagai keadaan force majeure.
MUHAMMAD SARIF NUR, SH.
Praktisi Hukum
Label:
Hukum & Sosial
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)