Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Senin, 03 Februari 2014




                Apakah segala bentuk perbuatan atau tindakan warga Negara menjadi terbatas (kaku) dengan adanya suatu aturan hukum, yang dimana cita-cita hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat ataukah aturan hukum justru akan memperhambat jalannya suatu ketertiban masyarakat dikarenakan adanya batasan-batasan terhadap perilaku-perilaku individu maupun masyarakat? Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bebas dari segala hal dalam hal ini disebut sebagai intervensi dan pengejawantahannya terjuwud dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Nah, untuk menentukan suatu perbuatan atau tindakan tersebut salah/melanggar hukum (dalam bahasa hukumnya=tersangka) dengan menggunakan inti, rasio daripadanya (tidak berpegang pada aturan yang ada) ataukah berpegang pada bunyi suatu aturan yang semua kata-katanya dituruti?

               
              Di dalam ruang lingkup akademisi hukum yang menyangkut dengan suatu Negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yaitu Negara Indonesia dan lebih jelasnya terletak dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 bahwa “Indonesia adalah Negara hukum”. Lalu, hukum apakah yang dimaksud dalam UUD 1945 tersebut? Apakah hukum tertulis? Ataukah hukum itu harus sesuai dengan suatu kebiasaan masyarakat (tidak tertulis)? Dan perlu diketahui bahwa hukum itu bersifat empiris (indra).

               
              Berangkat dari klausul yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah Negara hukum” maka, yang menjadi pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis; berdasarkan pernyataan bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dan ini sebagai dalil yang kuat mengenai pertanggung jawaban pidana atas perbuatan yang telah dilakukannya yang disebut dengan criminal responsibility atau criminal liability.

               
            Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri disebut dengan criminal act yang berbeda dengan pertanggung jawaban pidana dan dasar inilah yang disebut asas legalitas (principle of legality) yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana jika tidak ditentukan atau tidak disebutkan dalam perundang-undangan. Bahasa latinnya adalah nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu yang berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum Jerman (1775-1833) dalam rumusannya berbentuk pepatah Latin tadi dalam bukunya; Lehrbuch des peinlichen Recht (1801).

               
                Dan perumusan asas legalitas tersebut itu kemudian dihubungkan dalam teorinya Von Feurbach juga bahwa “vom psycholigischen Zwang” yaitu menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan, dengan maksud bahwa siapa pun yang telah melakukan perbuatan pidana mengetahui larangan lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkannya kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan dan dengan demikian secara psikologis sudah ada tekaan untuk tidak berbuat. Dan kalaupun individu telah melakukan perbuatan yang dilarang, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Hal ini hukum diciptakan bukan untuk menciptakan ke-kaku-an dan bukan juga kebebasan (free will), akan tetapi asas legalitas tersebut mengandung makna sebagai jalan tengah (tidak memihak) antara kaku dan kebebasan agar individu atau masyarakat mendapatkan sebuah ketertiban yang berhubung dengan lancarnya pembangunan nasional (secara teoritis). Karena kalau dalam sebuah Negara menjunjung kebebasan yang sebebas bebasnya maka justru Negara tidak mendapatkan sebuah ketentraman diakibatkan hukum tidak diciptakan melalui sesuatu yang tertulis dan begitupun kalau sebuah Negara hanya sebuah aturan saja maka yang ada adalah dalam mengambil sebuah keputusan yaitu hakim hanyalah terompet undang-undang (menurut prof.achmad ali). Makanya penafsiran terhadap undang-undang tersebut dibutuhkan dalam mengkaji dan menganalisis suatu perbuatan dan tindak pidana dalam hal penjatuhan pemidanaan (pasal 10 KUHP) sebagai pembalasan menurut Von Feurbach.

               
Asas legalitas mengandung 3 pengertian, yaitu :

1.       Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang, di dalam teks Belanda disebutkan “wettelijke strafbepaling” yaitu aturan pidana dalam perundangan.

2.       Untuk menggunakan adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi (kias). Walaupun pada umumnya pernyataan tersebut masih dipakai oleh kebanyakan Negara-negara. Di Indonesia dan Belanda, masih mengakui prinsip ini, meskipun juga ada beberapa sarjana yang tidak dapat menyetujuinya misalnya Taverne,Pompe dan Jonkers. Prof.scholter menolak adanya perbedaan antra analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata dibolehkan dan menurutnya dalam hal tafsiran maupun ekstensif dasarnya adalah sama, yitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum/abstrak) dari norma yang ada. Lalu didedusir menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada), dan antara keduanya itu hanya ada perbedaan gradual/gradasi saja.

Contoh dari tafsiran ekstensif adalah putusan HR Negeri Belanda tahun 1921 dimana ditentukan mengenai benda dan barang dalam pasal 362 KUHP (pasal tentang pencurian) juga meliputi daya listrik secara tidak sah itu dapat dikenai pasal 362 KUHP tersebut.

Dan pendapat ini pun disetujui oleh Prof.Van Hattum dalam bukunya Handen leerboek van het Ned. Strafrecht. 1953. Akan tetapi beliau menolak analogi dalam menentukan perbuatan pidana dan juga menolak tafsiran ekstensif. Dan menurut Prof. Moeljatno dalam karyannya menyatakan bahwa, apakah dalam pencurian daya listrik itu dianggap sebagai suatu benda dan barang karena tafsiran ekstensif atapun karena peralihan makna dari kata goed (benda&barang), itu hanyalah berlainan kta-kata saja. Yang terang adalah pada waktu wetboek van strafhrecht dibentuk hanya bermakna sebaga barang berwujud saja, sedangkan maknanya pada masa sekarang juga meliputi barang yang tidak berwujud. Dan analogi maupun ekstensif itu perlu dengan batasan yang jelas, yaitu sampai dimana yang masih dapat dikatakan sebagai interpretasi dan manakah yang sudah meningkat ke analogi, sehingga tidak diperbolehkan. Maksudnya adalah dalam pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang ada, yang mengenai perbuatan yang mirip dengan itu. Karena termasuk dalam inti suatu aturan yang ada, maka perbuatan tersebut dapat dikenai dengan yang tertulis dengan menggunakan analogi. Jadi sesungguhnya jika digunakan analogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan tertentu, bukanlah dari apa yang tertulis, tetapi rasio inti dan aturan yang ada, sesuai dengan pengaturan tentang kekuasaan kehakiman terbaru adalah UU No. 48 Tahun 2009. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 

3.       Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

0 komentar: