Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Sabtu, 01 Februari 2014

Untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA INDONESIA, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Pancasila.

Begitulah bunyi alinea keempat yang tertuang dalam UUD 1945.  Yang dimana, alinea ketiga menegaskan dengan adanya ”kemerdekaan”, pernyataan kemerdekaan itu dilanjutkan dengan tekad untuk membangun sebuah kedaulatan rakyat atau demokrasi dengan 4 point penting, yaitu :
-          Melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia,
-          Memajukan kesejahteraan umum,
-          Mencerdaskan kehidupan bangsa,
-          Dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan (freedom), perdamaian abadi (eternal peace) dan keadilan sosial (social justice).

Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan rakyat yang menjadi sebuah dasar bahwa secra historis, dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru hanya pada manusia sebagai yang sebagai subjek hukum, dikarenakan kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam konstitusi sebagai hasil karya manusia  adalah suatu hal yang objektif. Mengapa? Soekarno pun pernah menyampaikan sebuah gagasan bahwa “Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa undang-undang dasar yang (kita) buat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: “ini adalah undang-undang dasar kilat. “Nanti, kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali majelis perwakilan rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.” Lihat, Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959) halaman 410. Pada rapat pertama PPKI Soekarno menyatakan hal tersebut tanggal 18 Agustus 1945 tentang kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945. Dengan kemungkinan-kemungkinan atau keraguan tersebut maka pasal II aturan peralihan pun menegaskan  bahwa “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang” sebelum perubahan pertama UUD 1945.

Gagasan perlunya perubahan UUD 1945 sesungguhnya telah dijewantahkan sejak masa awal Orde Baru. Harun Alrasyid misalnya, melalui tulisannya yang dimuat di harian Merdeka tanggal 18 Maret 1972 menekankan perlunya constitutional reform karena UUD 1945 kurang sempurna atau bahkan salah. UUD 1945 dipandang terlalu summier, terlalu banyak masalah-masalah yang diserahkan kepada pembuat peraturan yang lebih rendah, serta tidak menjamin secara tegas tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Gagasan Harun Alrasyid tersebut menunjukkan bahwa secara akademis pandangan tentang perlunya perubahan UUD 1945 telah ada karena melihat sejumlah kelemahan yang dapat menimbulkan pemerintahan yang tidak demokratis, serta masalah sifat kesementaraan UUD 1945. Namun berbagai gagasan perubahan UUD 1945 selalu berbenturan dengan kehendak politik penguasa untuk melestarikan otoritarian dengan legitimasi UUD 1945.

Berangkat dari hal tersebut, maka perubahan UUD 1945 tersebut sangatlah urgen, mengapa? Karena dalam hal ini dengan kelemahan tersebut Negara menjadi penyebab tidak demokratisnya Negara Indonesia dalam menggunakan UUD 1945. Mahfud menyebutkan kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya yaitu;
1.       UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya mekanisme checks and balances yang memadai.
2.       UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan UU maupun dengan Peraturan Pemerintah.
3.       UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multi-tafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, akan tetapi tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden.
4.       UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggara negara daripada sistemnya.

Gagasan perubahan UUD 1945 kembali muncul dalam perdebatan pemikiran ketatanegaraan dan  menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum  dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945 sebelum perubahan.

Secara filosofis, setelah perubahan kondisi ketatanegaraan sudah jauh lebih baik daripada saat Orde Baru dahulu, namun hanya dalam konsep ideal dan tidak berjalan sebagaimana harusnya. Secara sosiologis, pemilu 2009-2014 yang menghasilkan banyak wakil rakyat yang hampir 70% menguasai kursi DPR dari partai-partai koalisi. Sederhananya dengan 70% partai koalisi menguasai DPR, apakah fungsi DPR akan berjalan dengan baik, khususnya bidang pengawasan (pasal 20A ayat 1 UUD 1945)? Sebagai contoh, pertengahan 2007 kasus lumpur lapindo yang hak interpelasinya (pasal 20A ayat 2) “pasif” dan bagi para pengusul, berlarut-larut penanganan pemerintah terhadap kasus lumpur Lapindo dapat dipandang sebagai pelanggaran atas ketentuan-ketentuan HAM dalam UUD 1945. Mereka menyebutkan dasar yuridis pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Kerangka politik secara status quo yang akan membuat DPR menjadi garuda bertopeng sebab fakta empiris menunjukkan bahwa hanya beberapa partai yang memang tidak berkoalisi dengan partai pemerintah. Antony Giddens, seorang pemikir sosial di awal tahun 1990-an , dalam karyanya yang berjudul The Transformation of Intimacy, menegaskan bahwa sebuah keintiman harus menunjukkan kualitas-kualitas demokratik.

Jadi kesimpulannya, eksistensi koalisi yang menguasai lebih dari setengah anggota dewan DPR perlu diteliti karena berimplikasi ke arah pelemahan fungsi DPR secara status quo, sehingga legislative heavy adalah topeng dari executive heavy (yang salah satu kelemahan UUD 1945 sebelum perubahan, gagasan mahfud) yang terbungkus rapi dengan kontrak politik para partai koalisi.

Jika cinta itu sebuah kebenaran, maka cinta haruslah terkonstitusikan. Bukan konstitusi yang harus dideklarasikan secara tertulis, tetapi konstitusi yang dideklarasikan dalam hati kita sebagai warga Negara Indonesia. Dan konstitusi paling lembut, tertulis dengan darah yang mengalir dari jiwa yang paling dalam. Salam konstitusi!

0 komentar: