Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 19 April 2020


Akibat hukum adalah suatu keadaan/peristiwa yang ditimbulkan dari adanya peristiwa hukum, dimana akibat hukum menimbulkan suatu konsekuensi tertentu tergantung dari sebab hukum yang telah terjadi.
Hujan merupakan suatu peristiwa alam akan tetapi tidak termasuk peristiwa hukum jika tidak terdapat hubungan hukum di dalamnya/atau yang terkait dengan peristiwa dimaksud.
Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional (selanjutnya disebut “Keppres 12/2020”) tentu memiliki akibat hukum tertentu, dimana Keputusan Presiden adalah suatu penetapan administratif yang sifatnya konkrit, individual dan final, disebut Beschikking.
Terkait hal tersebut, menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat hukum, khususnya bagi para pelaku usaha yang mengakibatkan dampak serius secara ekonomis berkaitan dengan transaksi yang telah terikat di dalam perjanjian.
1.   Apakah diktum-diktum yang tercantum di dalam Kepress 12/2020 menyatakan bahwa Covid-19 sebagai bencana nasional disebut sebagai keadaan kahar/Force majeure?
2.   Apakah para pihak yang berada di dalam perjanjian dapat menjadikan covid-19 sebagai suatu keadaan force majeure sekalipun tidak disebutkan secara khusus di dalam klausul perjanjian?
3.   Apa akibat hukum setelah terbitnya Keppres 12/2020 tersebut?
4.   Bagaimana solusi terhadap transaksi hukum yang telah terikat di dalam perjanjian jika Covid-19 tidak termasuk Force Majeure?

Secara umum, Force Majeure adalah suatu keadaan yang terjadi bukan karena kontrak, melainkan demi hukum. Sepanjang tidak diperjanjikan lain, aturan kahar dalam KUH Perdata berlaku.
Dalam lingkungan kontrak bisnis, kegagalan memenuhi kewajiban salah satu pihak di dalam perjanjian alias wanprestasi acapkali dapat dibenarkan oleh hukum jika orang yang tak memenuhi prestasi dapat membuktikan ada halangan yang tak dapat dihindari/di luar kemampuan pihak yang harus memenuhi kewajiban.
Force majeure secara materiil dapat ditinjau dari 2 sudut pandang yakni secara mutlak dan relatif, secara mutlak gempa bumi, longsor dan sejenisnya (karena suatu keadaan alam) dan secara relatif huru-hara dan tersebarnya covid-19 (karena suatu keadaan nonalam).

Dasar hukumnya force majeure berada pada pasal 1245 KUHPerdata. Pasal ini menyebutkan: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa [overmacht] atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Menjawab pertanyaan pertama, diktum-diktum yang tercantum di dalam Keppres 12/2020 tidak mencantumkan secara tegas bahwa covid-19 sebagai suatu keadaan kahar/force majeure/overmacht.
Kedua, Meskipun para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis tidak pernah memperjanjikan kondisi pandemik covid-19 sebagai bagian dari force majeure, pembebasan itu tetap berlaku berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata secara materiil dalam artian tergantung dari kesepakatan pihak yang memiliki hak untuk menerima kewajiban dari pihak lainnya untuk pemenuhan prestasi, namun secara formil jika tidak diperjanjikan secara tegas, maka hal itu bisa menjadi dasar bahwa covid-19 bukanlah sebagai suatu keadaan force majeure apalagi jika pihak debitur memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban/prestasi karena sesuatu yang telah tercantum secara tertulis tidak bisa diartikan lain selain daripada apa yang telah disepakati sebelumnya.
Ketiga, akibat hukum dikeluarkannya Keppres 12/2020 tidak memberikan efek/akibat hukum terkait dengan keadaan kahar bagi penyebaran covid-19.
Keempat, pihak debitur yang ada di dalam perjanjian dapat melakukan surat secara resmi (dokumentasi hukum) dengan menyebutkan alasan khsuus covid-19 sebagai keadaan force majeure, jika pihak kreditur tidak menerima alasan tersebut, maka pihak debitur tetap wajib untuk memenuhi prestasi karena covid-19 hanya dapat dijadikan sebagai alasan sosial (berita terkait korban dari penyebaran covid-19) dan ekonomi (transaksi pembayaran tertunda karena manajemen keuangan), akan tetapi karena secara hukum, belum terjadi penetapan covid-19 belum dikategorikan sebagai keadaan force majeure.



MUHAMMAD SARIF NUR, SH.

Praktisi Hukum

0 komentar: