Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Selasa, 21 Juni 2016

Engkau memiliki cahaya tapi engkau tidak memiliki kemanusiaan, carilah kemanusiaan karena itulah tujuannya,
Engkau merangkul cahaya tapi engkau tak merasakannya,
Engkau merasakannya tapi engkau tak berpikir lebih sederhana,
Engkau meramu kegelapan padahal itu biasnya,
Engkau mencari cahaya padahal Yang awal dan Yang Akhir adalah cahaya,
Engkau memikirkan cahaya yang menurutmu terang, padahal cahaya telah tercipta sebagaimana adanya,
Engkau merasa jiwa akan bercahaya tanpa ikatan ruhani yang sesungguhnya,
Carilah cahaya sebagaimana engkau selalu merasa gelap jika di hadapan-Nya,
Tanpa-Nya engkau tak akan mungkin ada melainkan cahaya yang mengitari-Nya,

Seorang pezina (perempuan maupun laki-laki) tak kan ada ampunan karena tak bercahaya,
Kecuali kaum liberal yang kebebasan adalah cahayanya,
Cahaya yang gelap dan terang hanya persoalan kadarnya,
Hidup yang materialistik adalah cahaya tanpa ruhani yang terpelihara,
Kecuali engkau bertaubat sesudah itu dan memperbaiki diri dari cahaya yang engkau jadikan mahkota,

Alam mikrokosmos hanya terletak pada fisik manusia,
Dirasakan hanya kasat mata,
Karenanya ia akan fana,
Alam makrokosmos memiliki alam semesta dan alam jiwa,
Di dalam Al-qur’an Tuhan berkata :

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS: 24:35)

Cahaya di atas cahaya,
Mulla Sadra merujuk pada alam jiwa melalui karya al-iIsyarat wa al-Tanbihat-nya Ibn Sina :

Jiwa rasional dalam pendakiannya menuju Alam Ilahiyyah, harus melewati beberapa tahapan-tahapan perjalanan. Dalam memahami pemikiran ini, maka ceruk dapat diartikan sebagai akal pertama (al-‘aql al-hayulani), yang karena kegelapan esensinya, meskipun ia dapat menerima cahaya intelektif, tetap tergantung pada derajat kesiapannya yang berbeda-beda. Kaca dapat diartikan sebagai akal yang karena kejernihannya maka ia dapat menerima cahaya dengan lebih baik, sama dengan bintang yang bersinar. Pohon zaitun bermakna fakultas berfikir (al-quwwat al-fikriyyah, cogitative faculty) dan refleksi (al-fikr) karena ia siap menerima cahaya untuk dirinya sendiri. Pohon ini menjadi pohon yang diberkati karena ia memuat definisi segala sesuatu dan simpulan-simpulan penjelasan yang benar. Pohon ini tidak di timur dan tidak tidak di barat karena proses berfikir terjadi di dalam makna universal dan bentuk mental. Di samping itu, argumentasi rasional tidak bisa dihubungkan dengan baik dengan wilayah barat wujud indrawi yang material, maupun dengan wilayah timur alam akal-akal aktif. Adapun minyak (zaitun) menunjukkan intuisi (hads) karena ia lebih dekat ke sumber cahaya di banding pohon zaitun itu sendiri. Meskipun api, yang disebut Akal Aktif tidak menyentuh minyak zaitun tersebut, namun seolah-olah minyak zaitun tersebut sudah memancarkan cahaya untuk dirinya sendiri, itulah karenanya ia disebut dengan akal di dalam aktualitas. “cahaya di atas cahaya” menunjukkan akal pahaman (al-‘aql al-mustafad) karena bentuk-bentuk pahaman adalah cahaya dan jiwa yang menerimanya adalah cahaya yang lain. Demikian juga pelita, karena ia bercahaya dalam esensinya dan tidak memerlukan cahaya, maka ia adalah akal dalam perbuatan (al-‘aql bi al-fi’l). Akal Aktif membimbing akal dalam perbuatan, sama dengan api pelita yang ada di dalam ceruk.[1]

Segala penderitaanmu muncul karena menginginkan sesuatu yang yang tidak mungkin diperoleh tanpa usaha,
Ketika engkau berhenti menginginkan, tidak akan lagi ada penderitaan yang terasa,

Rumi berkata :

Di dalam dunia Tuhan, tidak ada yang lebih sukar daripada memaklumi perkara yang absurd. Sebagai contoh, andaikan engkau telah membaca sebuah buku dan pembacaan yang kau lakukan benar, juga frasanya. Kemudian seseorang duduk di sampingmu dan membaca buku yang sama, tapi dia salah membacanya. Mampukah engkau berdiam diri mendengarkan bacaannya? Tentu saja tidak. Mustahil. Ketika engkau belum membaca buku itu, -sehingga tidak tahu antara paham yang salah dan yang benar-tidak akan berbeda bagimu apakah dia membaca dengan baik ataupun salah. Maka, untuk memaklumi yang absurd, memerlukan upaya besar. Nabi dan orang-orang suci tidak malu mengemukakan upaya. Upaya pertama yang mereka lakukan dalam pencarian ialah membunuh diri badaniah dan membuang gairah syahwat dan hasratnya. Itu merupakan “perjuangan utama”. Ketika mereka mencapai persatuan dan tempapt mereka dibawa pada jenjang keselamatan, saat itulah salah dan benar diwahyukan. Meskipun tahu yang benar dari yang salah, mereka tetap berada dalam perjuangan besar karena seluruh perbuatan orang lain masih salah. Ini mereka pahami, tetapi mereka memakluminya. Apabila tidak memaklumi dan terus mengungkapkan kesalahan orang-orang, tidak ada satu orang pun yang akan hidup bersama dia. Tidak ada satu orang pun yang akan bersikap sopan pada mereka. Tuhan, pada sisi lain memberi mereka kesabaran agung sedemikian rupa dan keluasan hati sehingga mereka hanya mengatakan satu dari ribuan kesalahan agar tidak membuatnya menjadi terlalu sukar. Seluruh kesalahan mereka abaikan atau bahkan dipuji dan dikatakan bahwa mereka benar. Kemudian, secara bertahap satu demi satu, mereka mampu memperbaiki seluruh kesalahan.[2]

Hadirnya sesuatu yang tidak muncul pada khayalan manusia,
Disebut dengan “bakat” manusia,
Sebaliknya, apa pun yang hadir melalui khayalan berada pada wilayah cita-cita dan hasratnya.
Bakat manusia akan terus berjalan sesuai koridornya,
Dan cita-cita dan hasrat manusia terus berjalan berkelok sesuai keinginannya,
Melalui banyak faktor cita-cita dan hasrat adalah persoalan potensial yang ada pada diri manusia,
Sebaliknya melalui banyak pengembangan, “bakat” adalah persoalan perolehan cahaya,
Masihkah kita meragukan cahaya?
Kalau melihat cahaya bukan persoalan keinginan manusia,
Melainkan persoalan kebutuhan yang darinya manusia merasakan kehadiran-Nya.

Nikmatilah cahaya sebagaimana seorang hamba beribadah kepada Pencipta,
Layaknya umat mengikuti perkataan dan perbuatan utusan pencipta,
Laksana seorang anak berkhidmat kepada orang tua,
Laksana menjaga keluarga adalah salah satu pintu-Nya,
Status sebagai seorang murid mencerna kisah hikmah gurunya,
Alunan pemerintah terkait dengan rakyatnya,
Kritiklah pemerintah selama keadilan itu belum terasa,
Rakyat bukanlah budak bagi pemerintahannya,
Tapi rakyat adalah jantung peradaban,
Rakyat yang berperadaban adalah rakyat yang cerdas dan kritis dengan kebijakannya,
Selama aturan bukan dari manusia suci selama itu pula ada kekurangannya,
Pendidikan bukan legitimasi alat pembodohan untuk menjelajah budak Negara,

Bukan apatis, bukan optimis dan bukan pesimis dengan fakta,
Tapi cahaya yang terbaca,
Akan selalu bersinar bagi pendamba keadilan melalui perjuangan kaum tertindas dari pemerintahan suatu Negara.





[1] Sadra, tafsir, p. 164; bandingkan dengan terjemahan Saleh dalam bahasa Inggris, hal. 153-4. Juga lihat tulisan Ibn Sina sendiri tentang penafsiran ini di dalam al-isharat wa al-Tanbihat ma’a Sharh Nasir al Din al-Tusi, editor S. Dunya (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1957-1958), vol. 2, hal.364-367. Lebih lanjut dalam menuju kesempunaan, Persepsi dalam pemikiran Mulla Shadra, diterjemahkan oleh Dimitri Mahayana dan Mustamin Al-Mandary,  safinah, 2003, Makassar, hal. 115-116
[2] Yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya, aforisme-aforisme sufistik Jalaluddin Rumi, terjemahan dari Signs of The Unseen: The discourses of Jalaluddin Rum terbitan S. Abdul Majeed & Co, Kuala Lumpur; Malaysia, penerjemah : Anwar kholid, penyunting : Shophia, pustaka hidayah IKAPI, 2006, Jawa barat, hal. 197-198.

0 komentar: