Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Rabu, 26 Maret 2014



            Perbincangan mahasiswa, kehidupannya bukan hadir sebagai sebuah kebekuan, potensinya hadir bukan untuk dibekukan. Ya, biarpun yang ditampilkannya itu seperti anak sekolahan (ABG), mahasiswa yang berlembaga dan mahasiswa yang berorganisasi.  Akankah ketiga karakter dari mahasiswa menjadi penerus bangsa? tentu saja walaupun tidak secara keseluruhan, tetapi akankah mahasiswa sadar yang secara substansial sebagai pemuda yang memiliki nalar kritis, agen perubahan dll. Suatu kenakalan berfikir ketika kita menganggap mahasiswa zaman sekarang yang tidak berorganisasi/berlembaga di ruang lingkup fakultas-kampus, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam mata garuda, pikiranmu setajam pisau, perabaanmu lebih peka dari para malaikat, pendengaranmu dan ratap-tangis kehidupan: pengetahuanmu tentang mahasiswa yang tidak berorganisasi/berlembaga di ruang lingkup fakultas-kampus takkan bisa kau nilai sebagaimana dosen yang memberikan nilai kepada mahasiswanya.
            Sudah berapa banyakkah yang kau berikan untuk Negaramu? sehingga menjadikan dirimu fanatik dalam suatu organisasi/lembaga kampus? Apakah dengan hadirnya Pancasila pada tanggal 1 juni 1945 dan sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928 itu muncul sebagai sebuah seremonial belaka? sebagaimana waktu kita duduk di bangku sekolah yang hanya sekedar menghafal kelima sila itu? Bayangkanlah nasib bangsa Indonesia yang pernah mengalami penjajahan atau kolonialisme selama tiga abad lebih. Tiga abad lebih itu dalam ukuran rotasi matematis pertanggalan, tapi jika dalam ukuran perasaan maka satu hari penjajahan bisa terasa seperti 1 tahun, maka perasaan orang-orang Indonesia yang terjajah itu bisa lebih dari seribu abad rasanya. Setiap individu yang terjajah dimana saja dalam kehidupan modern, selalu jumlah waktu yang gelap dalam hidupnya relatif sama. Maka, seorang mahasiswa yang tidak tergolong dalam suatu komunitas/organisasi/lembaga kampus yang pada realitasnya tidak berbeda dengan mahasiswa manapun yang terjajah secara politik dalam suatu komunitas/organisasi/lembaga yang merasakan galau dan resah sehingga potensi yang dimiliki seorang mahasiswa menjadi terhambat.
            Berdaulat juga bermakna otonom yang memiliki kemandirian. Otonom berarti sempurna sebagai seorang mahasiswa yang berkuasa atas kehendaknya sendiri selama tidak merugikan kepentingan umum yang tidak ada paksaan dari luar (kreatvitas). Bahasanya adalah bahasa hati nurani, bahasa yang mandiri, bahasa yang hakiki.
            Dengan segala kerendahan, untuk hakim yang terhormat yaitu golongan mahasiswa yang melampaui batas kehendak Tuhan sebagai hakim yang Maha benar dan Maha adil. Akankah kita memberikan sebuah kesimpulan/penjustifikasian terhadap ruang gerak potensi yang ingin dikembangkannya sebagaimana mahasiswa yang terjajah secara politik?
“tidak banyak orang yang melihat yang dengan matanya sendiri dan merasakan dengan hatinya sendiri.” #AlbertEinstein.
            Jika kita yakin perubahan/potensi yang dimiliki setiap mahasiswa itu sebagai sebuah kebenaran. Maka, perubahan itu haruslah terkonstitusikan. Bukan hanya konstitusi seperti yang dideklarasikan secara tertulis, tetapi juga konstitusi yang tertulis di dalam hati mahasiswa. Konstitusi yang paling lembut itu tertulis dengan darah yang mengalir sepanjang kehidupannya sebagai ciptaan Tuhan. salam mahasiswa!

0 komentar: