Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 19 April 2020


Akibat hukum adalah suatu keadaan/peristiwa yang ditimbulkan dari adanya peristiwa hukum, dimana akibat hukum menimbulkan suatu konsekuensi tertentu tergantung dari sebab hukum yang telah terjadi.
Hujan merupakan suatu peristiwa alam akan tetapi tidak termasuk peristiwa hukum jika tidak terdapat hubungan hukum di dalamnya/atau yang terkait dengan peristiwa dimaksud.
Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional (selanjutnya disebut “Keppres 12/2020”) tentu memiliki akibat hukum tertentu, dimana Keputusan Presiden adalah suatu penetapan administratif yang sifatnya konkrit, individual dan final, disebut Beschikking.
Terkait hal tersebut, menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat hukum, khususnya bagi para pelaku usaha yang mengakibatkan dampak serius secara ekonomis berkaitan dengan transaksi yang telah terikat di dalam perjanjian.
1.   Apakah diktum-diktum yang tercantum di dalam Kepress 12/2020 menyatakan bahwa Covid-19 sebagai bencana nasional disebut sebagai keadaan kahar/Force majeure?
2.   Apakah para pihak yang berada di dalam perjanjian dapat menjadikan covid-19 sebagai suatu keadaan force majeure sekalipun tidak disebutkan secara khusus di dalam klausul perjanjian?
3.   Apa akibat hukum setelah terbitnya Keppres 12/2020 tersebut?
4.   Bagaimana solusi terhadap transaksi hukum yang telah terikat di dalam perjanjian jika Covid-19 tidak termasuk Force Majeure?

Secara umum, Force Majeure adalah suatu keadaan yang terjadi bukan karena kontrak, melainkan demi hukum. Sepanjang tidak diperjanjikan lain, aturan kahar dalam KUH Perdata berlaku.
Dalam lingkungan kontrak bisnis, kegagalan memenuhi kewajiban salah satu pihak di dalam perjanjian alias wanprestasi acapkali dapat dibenarkan oleh hukum jika orang yang tak memenuhi prestasi dapat membuktikan ada halangan yang tak dapat dihindari/di luar kemampuan pihak yang harus memenuhi kewajiban.
Force majeure secara materiil dapat ditinjau dari 2 sudut pandang yakni secara mutlak dan relatif, secara mutlak gempa bumi, longsor dan sejenisnya (karena suatu keadaan alam) dan secara relatif huru-hara dan tersebarnya covid-19 (karena suatu keadaan nonalam).

Dasar hukumnya force majeure berada pada pasal 1245 KUHPerdata. Pasal ini menyebutkan: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa [overmacht] atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Menjawab pertanyaan pertama, diktum-diktum yang tercantum di dalam Keppres 12/2020 tidak mencantumkan secara tegas bahwa covid-19 sebagai suatu keadaan kahar/force majeure/overmacht.
Kedua, Meskipun para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis tidak pernah memperjanjikan kondisi pandemik covid-19 sebagai bagian dari force majeure, pembebasan itu tetap berlaku berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata secara materiil dalam artian tergantung dari kesepakatan pihak yang memiliki hak untuk menerima kewajiban dari pihak lainnya untuk pemenuhan prestasi, namun secara formil jika tidak diperjanjikan secara tegas, maka hal itu bisa menjadi dasar bahwa covid-19 bukanlah sebagai suatu keadaan force majeure apalagi jika pihak debitur memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban/prestasi karena sesuatu yang telah tercantum secara tertulis tidak bisa diartikan lain selain daripada apa yang telah disepakati sebelumnya.
Ketiga, akibat hukum dikeluarkannya Keppres 12/2020 tidak memberikan efek/akibat hukum terkait dengan keadaan kahar bagi penyebaran covid-19.
Keempat, pihak debitur yang ada di dalam perjanjian dapat melakukan surat secara resmi (dokumentasi hukum) dengan menyebutkan alasan khsuus covid-19 sebagai keadaan force majeure, jika pihak kreditur tidak menerima alasan tersebut, maka pihak debitur tetap wajib untuk memenuhi prestasi karena covid-19 hanya dapat dijadikan sebagai alasan sosial (berita terkait korban dari penyebaran covid-19) dan ekonomi (transaksi pembayaran tertunda karena manajemen keuangan), akan tetapi karena secara hukum, belum terjadi penetapan covid-19 belum dikategorikan sebagai keadaan force majeure.



MUHAMMAD SARIF NUR, SH.

Praktisi Hukum

Selasa, 21 Juni 2016

Engkau memiliki cahaya tapi engkau tidak memiliki kemanusiaan, carilah kemanusiaan karena itulah tujuannya,
Engkau merangkul cahaya tapi engkau tak merasakannya,
Engkau merasakannya tapi engkau tak berpikir lebih sederhana,
Engkau meramu kegelapan padahal itu biasnya,
Engkau mencari cahaya padahal Yang awal dan Yang Akhir adalah cahaya,
Engkau memikirkan cahaya yang menurutmu terang, padahal cahaya telah tercipta sebagaimana adanya,
Engkau merasa jiwa akan bercahaya tanpa ikatan ruhani yang sesungguhnya,
Carilah cahaya sebagaimana engkau selalu merasa gelap jika di hadapan-Nya,
Tanpa-Nya engkau tak akan mungkin ada melainkan cahaya yang mengitari-Nya,

Seorang pezina (perempuan maupun laki-laki) tak kan ada ampunan karena tak bercahaya,
Kecuali kaum liberal yang kebebasan adalah cahayanya,
Cahaya yang gelap dan terang hanya persoalan kadarnya,
Hidup yang materialistik adalah cahaya tanpa ruhani yang terpelihara,
Kecuali engkau bertaubat sesudah itu dan memperbaiki diri dari cahaya yang engkau jadikan mahkota,

Alam mikrokosmos hanya terletak pada fisik manusia,
Dirasakan hanya kasat mata,
Karenanya ia akan fana,
Alam makrokosmos memiliki alam semesta dan alam jiwa,
Di dalam Al-qur’an Tuhan berkata :

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS: 24:35)

Cahaya di atas cahaya,
Mulla Sadra merujuk pada alam jiwa melalui karya al-iIsyarat wa al-Tanbihat-nya Ibn Sina :

Jiwa rasional dalam pendakiannya menuju Alam Ilahiyyah, harus melewati beberapa tahapan-tahapan perjalanan. Dalam memahami pemikiran ini, maka ceruk dapat diartikan sebagai akal pertama (al-‘aql al-hayulani), yang karena kegelapan esensinya, meskipun ia dapat menerima cahaya intelektif, tetap tergantung pada derajat kesiapannya yang berbeda-beda. Kaca dapat diartikan sebagai akal yang karena kejernihannya maka ia dapat menerima cahaya dengan lebih baik, sama dengan bintang yang bersinar. Pohon zaitun bermakna fakultas berfikir (al-quwwat al-fikriyyah, cogitative faculty) dan refleksi (al-fikr) karena ia siap menerima cahaya untuk dirinya sendiri. Pohon ini menjadi pohon yang diberkati karena ia memuat definisi segala sesuatu dan simpulan-simpulan penjelasan yang benar. Pohon ini tidak di timur dan tidak tidak di barat karena proses berfikir terjadi di dalam makna universal dan bentuk mental. Di samping itu, argumentasi rasional tidak bisa dihubungkan dengan baik dengan wilayah barat wujud indrawi yang material, maupun dengan wilayah timur alam akal-akal aktif. Adapun minyak (zaitun) menunjukkan intuisi (hads) karena ia lebih dekat ke sumber cahaya di banding pohon zaitun itu sendiri. Meskipun api, yang disebut Akal Aktif tidak menyentuh minyak zaitun tersebut, namun seolah-olah minyak zaitun tersebut sudah memancarkan cahaya untuk dirinya sendiri, itulah karenanya ia disebut dengan akal di dalam aktualitas. “cahaya di atas cahaya” menunjukkan akal pahaman (al-‘aql al-mustafad) karena bentuk-bentuk pahaman adalah cahaya dan jiwa yang menerimanya adalah cahaya yang lain. Demikian juga pelita, karena ia bercahaya dalam esensinya dan tidak memerlukan cahaya, maka ia adalah akal dalam perbuatan (al-‘aql bi al-fi’l). Akal Aktif membimbing akal dalam perbuatan, sama dengan api pelita yang ada di dalam ceruk.[1]

Segala penderitaanmu muncul karena menginginkan sesuatu yang yang tidak mungkin diperoleh tanpa usaha,
Ketika engkau berhenti menginginkan, tidak akan lagi ada penderitaan yang terasa,

Rumi berkata :

Di dalam dunia Tuhan, tidak ada yang lebih sukar daripada memaklumi perkara yang absurd. Sebagai contoh, andaikan engkau telah membaca sebuah buku dan pembacaan yang kau lakukan benar, juga frasanya. Kemudian seseorang duduk di sampingmu dan membaca buku yang sama, tapi dia salah membacanya. Mampukah engkau berdiam diri mendengarkan bacaannya? Tentu saja tidak. Mustahil. Ketika engkau belum membaca buku itu, -sehingga tidak tahu antara paham yang salah dan yang benar-tidak akan berbeda bagimu apakah dia membaca dengan baik ataupun salah. Maka, untuk memaklumi yang absurd, memerlukan upaya besar. Nabi dan orang-orang suci tidak malu mengemukakan upaya. Upaya pertama yang mereka lakukan dalam pencarian ialah membunuh diri badaniah dan membuang gairah syahwat dan hasratnya. Itu merupakan “perjuangan utama”. Ketika mereka mencapai persatuan dan tempapt mereka dibawa pada jenjang keselamatan, saat itulah salah dan benar diwahyukan. Meskipun tahu yang benar dari yang salah, mereka tetap berada dalam perjuangan besar karena seluruh perbuatan orang lain masih salah. Ini mereka pahami, tetapi mereka memakluminya. Apabila tidak memaklumi dan terus mengungkapkan kesalahan orang-orang, tidak ada satu orang pun yang akan hidup bersama dia. Tidak ada satu orang pun yang akan bersikap sopan pada mereka. Tuhan, pada sisi lain memberi mereka kesabaran agung sedemikian rupa dan keluasan hati sehingga mereka hanya mengatakan satu dari ribuan kesalahan agar tidak membuatnya menjadi terlalu sukar. Seluruh kesalahan mereka abaikan atau bahkan dipuji dan dikatakan bahwa mereka benar. Kemudian, secara bertahap satu demi satu, mereka mampu memperbaiki seluruh kesalahan.[2]

Hadirnya sesuatu yang tidak muncul pada khayalan manusia,
Disebut dengan “bakat” manusia,
Sebaliknya, apa pun yang hadir melalui khayalan berada pada wilayah cita-cita dan hasratnya.
Bakat manusia akan terus berjalan sesuai koridornya,
Dan cita-cita dan hasrat manusia terus berjalan berkelok sesuai keinginannya,
Melalui banyak faktor cita-cita dan hasrat adalah persoalan potensial yang ada pada diri manusia,
Sebaliknya melalui banyak pengembangan, “bakat” adalah persoalan perolehan cahaya,
Masihkah kita meragukan cahaya?
Kalau melihat cahaya bukan persoalan keinginan manusia,
Melainkan persoalan kebutuhan yang darinya manusia merasakan kehadiran-Nya.

Nikmatilah cahaya sebagaimana seorang hamba beribadah kepada Pencipta,
Layaknya umat mengikuti perkataan dan perbuatan utusan pencipta,
Laksana seorang anak berkhidmat kepada orang tua,
Laksana menjaga keluarga adalah salah satu pintu-Nya,
Status sebagai seorang murid mencerna kisah hikmah gurunya,
Alunan pemerintah terkait dengan rakyatnya,
Kritiklah pemerintah selama keadilan itu belum terasa,
Rakyat bukanlah budak bagi pemerintahannya,
Tapi rakyat adalah jantung peradaban,
Rakyat yang berperadaban adalah rakyat yang cerdas dan kritis dengan kebijakannya,
Selama aturan bukan dari manusia suci selama itu pula ada kekurangannya,
Pendidikan bukan legitimasi alat pembodohan untuk menjelajah budak Negara,

Bukan apatis, bukan optimis dan bukan pesimis dengan fakta,
Tapi cahaya yang terbaca,
Akan selalu bersinar bagi pendamba keadilan melalui perjuangan kaum tertindas dari pemerintahan suatu Negara.





[1] Sadra, tafsir, p. 164; bandingkan dengan terjemahan Saleh dalam bahasa Inggris, hal. 153-4. Juga lihat tulisan Ibn Sina sendiri tentang penafsiran ini di dalam al-isharat wa al-Tanbihat ma’a Sharh Nasir al Din al-Tusi, editor S. Dunya (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1957-1958), vol. 2, hal.364-367. Lebih lanjut dalam menuju kesempunaan, Persepsi dalam pemikiran Mulla Shadra, diterjemahkan oleh Dimitri Mahayana dan Mustamin Al-Mandary,  safinah, 2003, Makassar, hal. 115-116
[2] Yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya, aforisme-aforisme sufistik Jalaluddin Rumi, terjemahan dari Signs of The Unseen: The discourses of Jalaluddin Rum terbitan S. Abdul Majeed & Co, Kuala Lumpur; Malaysia, penerjemah : Anwar kholid, penyunting : Shophia, pustaka hidayah IKAPI, 2006, Jawa barat, hal. 197-198.
Selasa, 14 Juni 2016
Karena hampir setiap diri, seringkali tak bersyukur,
Sehingga, terkadang yang salah selalu dianggap benar,
Melalui banyaknya informasi tanpa nalar,
Membuat manusia melegitimasi ayat suci terbakar,
Label agama menjadi alat untuk menjelajah orang kafir,
Mungkin juga karena banyaknya pengetahuan tanpa iringan yang sadar.

Sungguh indahnya semesta dengan alasan yang mendasar,
Bulan ramadhan bukan milik para pendusta dan penyihir,
Bukan pula para politikus dan koruptor,
Melainkan mereka yang karenanya alam semesta ini berakar,
Melalui pohon kenabian, kemanusiaan terus mengalir,
Yang dengannya cahaya itu terpancar,
“Yang Tercinta” akan selalu terlihat indah bagi yang merasa fakir.

Karena puasa bukan hanya persoalan lapar,
Bukan hanya perkara menahan dahaga melalui air,
Tapi, perkara jiwa yang tenggelam menuju kemusnahan karena terbakar.

Bunga-bunga dan pepohonan tak akan mekar di musim gugur,
Tapi bulan ramadhan sangat merindukan jiwa manusia yang mekar,
Sebab, Ramadhan memiliki kemuliaan malam Lailatul Qadr,
Malam yang cahaya itu akan mengakar,
Bukan untuk mereka yang merasa sebagai ahli tafsir,
Untuk merasa diri paling beriman untuk menyatakan selainnya itu kafir.

Duhai yang mengajak diri tuk terus minum anggur,
Izinkanlah diri tuk merasakan nikmatnya jiwa yang terbakar,
Melalui ruhanimu yang terpancar,

Karena hamba yang ahli dosa belum sadar.
Jumat, 03 Juni 2016


Ketika Wortley, mengemukakan bahwa :

Jurisprudence is the knowledge of law in its various forms and manifestations

(Ilmu hukum adalah pengetahuan tentang hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya)


Sekiranya ilmu pengetahuan seseorang tidak dapat dilihat dari gelar apa yang telah dilekatkan pada dirinya tapi sejauh mana pemahaman seseorang dan sebesar apa tekad untuk memahami suatu ilmu pengetahuan dan secara khusus di bidang disiplin ilmu tertentu. Buku ini berangkat dari sebuah ide/inspirasi, kumpulan diskusi-diskusi, catatan kuliah dan juga beberapa referensi lainnya demi pengembangan ilmu hukum itu sendiri. Pencapaiannya, sebelum menyelesaikan studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin bahwa sebagai generasi penerus bangsa yang tercinta ini, perlunyamembuat suatu karya yang berbentuk buku dan judulnya sangat jarang ditemukan di bidang ilmu hukum. Karena model berpikir ilmu hukum adalah model yang problematik, maka buku yang sangat sederhana ini tentang hukum sebagai persepsi (law as perception) dan terkhusus pembahasan mengenai wujud hukum yang merupakan sesuatu yang sangat abstrak di alam pikiran hukum yang merupakan kajian filosofis dalam aspek ontologi (keberadaan) atau mungkin suatu hal yang sangat utopis untuk diketahui menurut beberapa orang di kalangan mahasiswa. Dari beberapa karya kalangan pemikir, kekaguman adalah hal yang lumrah terhadap seorang tokoh untuk dijadikan teladan dan akhirnya terinspirasi dari sebuah karya terjemahan yang darinya salah seorang filsuf yang moderat; semoga dilimpahi keberkahan oleh Sang Pemberi, tentunya karena orisinalitas pemikirannya menjelaskan tingkatan-tingkatan persepsi sehingga mengobsesi untuk menyusun sebuah buku di bidang hukum yang sangatlah standar daripada karya lainnya.


Secara formal, saya belum menyelesaikan program studi S1 ilmu hukum atau bisa disebut dengan belum memiliki gelar untuk di katakan sebagai ahli dalam bidang ilmu hukum, karena memang salah satu misi saya yaitu menciptakan suatu karya sebelum menyelesaikan studi. Tapi, menurut saya “apakah gelar sarjana, magister dsb; dapat menjamin semakin meningkatnya ilmu pengetahuan seseorang”? mungkin iya karena gelar tersebut dicapai melalui bangku perkuliahan tapi bukan sebagai satu-satunya, mungkin salah satu tolak ukur. Dan memang saya selalu bermimpi untuk bagaimana bisa menciptakan suatu karya sebelum meninggalkan sesuatu yang bisa bermanfaat di bidang ilmu hukum yang dimulai dari buku ciptaan saya yang pertama kalinya.  


Mungkin, karya ini sangat mengherankan dari segi judulnya dan sangat abstrak, yang sulit dikonkritkan dalam bentuk kenyataan dalam masyarakat (law in action). Tapi, satu hal bahwa mengenai pola pikir hukum secara umum maupun secara khusus mengenai hukum sebagai persepsi dengan landasan mengenai hubungan antara sesama penegak hukum dan antara penegak hukum dan masyarakat melihat hukum yang bergantung dari persepsi manusia memakai kacamata hukum, perbedaan yang kemudian hadir dalam Bab I tentang definisi hukum yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum dikarenakan perbedaan persepsi melihat hukum yang hidup dalam pergaulan masyarakat yang juga cenderung mendefinisikan hukum berangkat dari kondisi masyarakat di sekitarnya, makanya kadang suatu teori hukum tidak dapat diterapkan di masyarakat lainnya sebagaimana menurut Robert B. Seidmann bahwa “the law of  the non transferability” (hukum tidak dapat dipindahkan begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya).


Dalam Bab II, dibahas tentang ‘hukum sebagai persepsi’ secara detail. Terkadang penafsiran mengenai hukum itu yang landasannya adalah suatu persepsi dilatarbelakangi oleh sebuah motif tertentu dan mungkin juga karena kondisi psikologis yang bertentangan dengan kepentingan umum, yang selanjutnya menggunakan kata “keadilan” itu harus ditegakkan, disebabkan oleh persepsi cenderung ke arah yang sifatnya kontradiktif di alam pikiran. Misalnya, dalam suatu kasus perdata ketika A sebagai pihak yang menang dalam perkara dan B sebagai pihak yang kalah maka pihak B cenderung berpikir bahwa dalam penyelesaian perkara tersebut sangat tidak adil dan pihak A mengatakan bahwa keadilan telah diterapkan di Negara ini, hal ini sangat dimungkinkan bahwa terjadi perbedaan persepsi hakim dan atau para pihak itu sendiri. Pro kontra terhadap suatu penafsiran mengenai penegak hukum dalam pola pikir masyarakat akan selalu terjadi, tetapi apakah secara internal antara penegak hukum/pejabat Negara telah terjadi kesepahaman melihat hukum? Maka, pola pikir hukum antara masyarakat dan penegak hukum/pejabat Negara mungkin memiliki perbedaan besar memaknai hukum atau disebut dengan kesenjangan berpikir yang sangat potensial akan terjadinya konflik sosial dalam suatu Negara menjadi abadi. Sebagai contoh bahwa hadirnya pengadilan itu meniscayakan keadilan terjadi di dalamnya dan adapun beberapa kalangan yang beranggapan bahwa pengadilan justru tidak menghasilkan keadilan makanya penyelesaian sengketa tidak perlu/harus sampai ke pengadilan, entah apakah karena pernah memiliki pengalaman kalah dalam pengadilan atau terpidana dalam kasus pidana dari keluarga, tetangga atau kerabat terdekat yang dianggap percaya oleh yang memahami pengadilan seperti itu.


Dalam Bab III, akan dibahas tentang wujud hukum, kenapa? Karena, pengadopsian hadirnyasistem hukum hampir dari segi definisi, metodologi, analisis dsb sehingga subjektivisme hukum mengakar di masyarakat Indonesia yang mungkin disebabkan oleh sebuah persepsi memaknai hukum sebagai sesuatu yang menciptakan kemanusiaan yang adil dan beradab.


Hal ini semakin membuktikan bahwa dari pembahasan sebelumnya penafsiran seseorang mengenai hukum itu sangat bergantung dari persepsi yang apa yang digunakan oleh penafsir hukum. Bahwa perhatian (attention) dan kesadaran (awareness) menjadi hal yang penting dalam persepsi. Kemudian jika direnungkan lebih lanjut dari beberapa hal tersebut, maka pembahasan kali ini saya beranggapan bahwa hukum itu dapat disebut sebagai suatu persepsi sangatlah penting dalam bidang keilmuan yang dapat digunakan sebagai suatu teori maupun secara praktis ketika seseorang berargumentasi mengenai hukum. 


Menurut Prof. Dr. Andi Pangerang, SH, MH, DFM (salah satu guru besar fakultas hukum Unhas), yang memberikan ‘kata pengantar’ dalam buku ini, bahwa “hukum yang pelajari selama ini di fakultas hukum seluruh dunia memang bahwa hukum adalah persepsi. Pertanyaannya, apakah persepsi itu? Menurut saya persepsi adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu obyek yang didasarkan pada alasan-alasan tertentu, terlepas apakah itu alasan ilmiah ataupun tidak ilmiah. Tetapi karena buku ini dibuat oleh kalangan kampus, maka semestinya persepsi itu didasarkan pada argumentasi ilmiah.”


Dan menurut Prof. Dr. Farida Patittingi, SH., M.Hum (Dekan FH-UH) yang memberikan sinopsis dalam buku ini bahwa “hukum sebagai persepsi, adalah gagasan penting terkait dengan eksistensi hukum sebagai ilmu yang multidisipliner. Bagi kaum positivis, hukum adalah ejaan pasal, ia dilingkupi oleh dinding “kegelapan positivisme”. Hukum tidak lebih sekedar “tutur kata kekuasaan” melalui undang-undang. Namun, bagi kaum empiris mereka memandang hukum sebagai dinamika sosial. Hukum tidak boleh berjarak dengan realitas sosial, karena hukum sejatinya adalah refleksi dari ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam masyarakat. setiap orang memandang berbeda mengenai hukum, sehingga berbeda pula cara menyikapinya. Perbedaan ini dipengaruhi oleh persepsi individu tentang hukum itu. Buku ini mengantar pembaca untuk mengetahui kenapa persepsi orang tentang hukum berbeda-beda. Ditulis oleh anak muda brilian, punya reputasi baik dan memiliki kecerdasan yang mumpuni.”


Tentunya, pembahasan dalam buku ini yang kemudian penjelasannya sangat dimungkinkan jauh dari kesempurnaan dan harapan dari pembaca mengingat saya hanyalah seorang mahasiswa fakultas hukum yang belum menyelesaikan studi S1 membahas mengenai ilmu hukum yang berjudul “Law As Perception”. Maksudnya, penulis sangat berharap kritikan yang bersifat definitif maupun argumentatif sebagai suatu saran baik secara langsung maupun tidak langsung dalam budaya pengembangan ilmu hukum yang begitu dinamis dan kompleks di kalangan mahasiswa, aktivis, akademisi, praktisi, politisi, media, dll. Semoga bermanfaat dan berkah bagi alam semesta.


“Apalah arti sebuah karya tanpa  teori, apalah arti sebuah teori jika tidak berbentuk karya, apalah arti sebuah pengetahuan tanpa kritik, apalah arti sebuah kritik tanpa pengetahuan yang mendasar dan apalah arti hukum tanpa memahami sebuah persepsi.”





Untuk pemesanan buku :  082345494415, 08999973343

Line                 : muhammadsarifnur

Bbm                : 5235F888

Twitter             : @muhsarifnur

Facebook        : muhammad sarif nur