Popular Posts
-
Karangan ini saya buat berdasarkan apa yang saya ketahui dan apa yang saya dapatkan di bangku perkuliahan Fakultas Hukum Universitas ...
-
Suatu wacana yang menarik ketika kita mengkaji filosof dan ilmuwan. Apakah filosof (ahli filsafat ilmu) dan ilmuwan i...
-
Suatu hal yang menarik ketika kita mengkaji, dengan dibentuknya beberapa komisi-komisi negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantas...
-
Ketika Wortley, mengemukakan bahwa : “ Jurisprudence is the knowledge of law in its various forms and manifestations ” ...
-
Berbicara mengenai kriminologi, otomatis tidak lepas dari pembahasan masalah kejahatan dan merupakan salah satu ilmu pemb...
-
Apakah kita hidup di dunia ataukah kita diciptakan di muka bumi ini dengan tujuan atau perspektif kita terhadap diri kita bahwa d...
-
Apakah segala bentuk perbuatan atau tindakan warga Negara menjadi terbatas (kaku) dengan adanya suatu aturan hukum, ...
-
Untuk memahami apa itu filsafat, mari kita lihat pendapat-pendapat para ahli tentang pengertian filsafat : 1. Plato (427 SM...
-
Berbicara mengenai konsep kekinian, tentu manusia tidak terlepas dari apa yang dibutuhkan atau yang dinginkannya yaitu belajar. Apa...
-
Hidup yang terpahami adalah kematian yang sesungguhnya, dan kematian yang terpahami adalah awal dari langkah untuk memulai...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Blog Archive
Kategori
- Agama ( 6 )
- Hukum & Sosial ( 13 )
- Logika & Filsafat ( 10 )
- Motivasi ( 5 )
- Puisi ( 2 )
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 19 April 2020
Akibat
hukum adalah suatu keadaan/peristiwa yang ditimbulkan dari adanya peristiwa
hukum, dimana akibat hukum menimbulkan suatu konsekuensi tertentu tergantung
dari sebab hukum yang telah terjadi.
Hujan
merupakan suatu peristiwa alam akan tetapi tidak termasuk peristiwa hukum jika
tidak terdapat hubungan hukum di dalamnya/atau yang terkait dengan peristiwa
dimaksud.
Dengan
diterbitkannya Keputusan Presiden No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana
Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) sebagai Bencana
Nasional (selanjutnya disebut “Keppres 12/2020”) tentu memiliki akibat hukum
tertentu, dimana Keputusan Presiden adalah suatu penetapan administratif yang
sifatnya konkrit, individual dan final, disebut Beschikking.
Terkait
hal tersebut, menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat hukum, khususnya bagi para
pelaku usaha yang mengakibatkan dampak serius secara ekonomis berkaitan dengan
transaksi yang telah terikat di dalam perjanjian.
1.
Apakah
diktum-diktum yang tercantum di dalam Kepress 12/2020 menyatakan bahwa Covid-19
sebagai bencana nasional disebut sebagai keadaan kahar/Force majeure?
2.
Apakah
para pihak yang berada di dalam perjanjian dapat menjadikan covid-19 sebagai
suatu keadaan force majeure sekalipun tidak disebutkan secara khusus di dalam
klausul perjanjian?
3.
Apa
akibat hukum setelah terbitnya Keppres 12/2020 tersebut?
4.
Bagaimana
solusi terhadap transaksi hukum yang telah terikat di dalam perjanjian jika
Covid-19 tidak termasuk Force Majeure?
Secara
umum, Force Majeure adalah suatu keadaan yang terjadi bukan karena kontrak,
melainkan demi hukum. Sepanjang tidak diperjanjikan lain, aturan kahar dalam
KUH Perdata berlaku.
Dalam
lingkungan kontrak bisnis, kegagalan memenuhi kewajiban salah satu pihak di
dalam perjanjian alias wanprestasi acapkali dapat dibenarkan oleh hukum jika
orang yang tak memenuhi prestasi dapat membuktikan ada halangan yang tak dapat dihindari/di
luar kemampuan pihak yang harus memenuhi kewajiban.
Force
majeure secara materiil dapat ditinjau dari 2 sudut pandang yakni secara mutlak
dan relatif, secara mutlak gempa bumi, longsor dan sejenisnya (karena suatu
keadaan alam) dan secara relatif huru-hara dan tersebarnya covid-19 (karena
suatu keadaan nonalam).
Dasar
hukumnya force majeure berada pada pasal 1245 KUHPerdata. Pasal ini
menyebutkan: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena
keadaan memaksa [overmacht] atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si
berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Menjawab
pertanyaan pertama, diktum-diktum yang tercantum di dalam Keppres 12/2020 tidak
mencantumkan secara tegas bahwa covid-19 sebagai suatu keadaan kahar/force
majeure/overmacht.
Kedua,
Meskipun para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis tidak pernah
memperjanjikan kondisi pandemik covid-19 sebagai bagian dari force
majeure, pembebasan itu tetap berlaku berdasarkan Pasal 1245
KUHPerdata secara materiil dalam artian tergantung dari kesepakatan pihak yang
memiliki hak untuk menerima kewajiban dari pihak lainnya untuk pemenuhan
prestasi, namun secara formil jika tidak diperjanjikan secara tegas, maka hal
itu bisa menjadi dasar bahwa covid-19 bukanlah sebagai suatu keadaan force
majeure apalagi jika pihak debitur memiliki kemampuan untuk memenuhi
kewajiban/prestasi karena sesuatu yang telah tercantum secara tertulis tidak
bisa diartikan lain selain daripada apa yang telah disepakati sebelumnya.
Ketiga,
akibat hukum dikeluarkannya Keppres 12/2020 tidak memberikan efek/akibat hukum
terkait dengan keadaan kahar bagi penyebaran covid-19.
Keempat,
pihak debitur yang ada di dalam perjanjian dapat melakukan surat secara resmi
(dokumentasi hukum) dengan menyebutkan alasan khsuus covid-19 sebagai keadaan
force majeure, jika pihak kreditur tidak menerima alasan tersebut, maka pihak
debitur tetap wajib untuk memenuhi prestasi karena covid-19 hanya dapat
dijadikan sebagai alasan sosial (berita terkait korban dari penyebaran
covid-19) dan ekonomi (transaksi pembayaran tertunda karena manajemen
keuangan), akan tetapi karena secara hukum, belum terjadi penetapan covid-19 belum
dikategorikan sebagai keadaan force majeure.
MUHAMMAD SARIF NUR, SH.
Praktisi Hukum
Label:
Hukum & Sosial
|
0
komentar
Selasa, 21 Juni 2016
Engkau memiliki cahaya
tapi engkau tidak memiliki kemanusiaan, carilah kemanusiaan karena itulah
tujuannya,
Engkau merangkul cahaya
tapi engkau tak merasakannya,
Engkau merasakannya tapi
engkau tak berpikir lebih sederhana,
Engkau meramu kegelapan
padahal itu biasnya,
Engkau mencari cahaya
padahal Yang awal dan Yang Akhir adalah cahaya,
Engkau memikirkan cahaya
yang menurutmu terang, padahal cahaya telah tercipta sebagaimana adanya,
Engkau merasa jiwa akan
bercahaya tanpa ikatan ruhani yang sesungguhnya,
Carilah cahaya
sebagaimana engkau selalu merasa gelap jika di hadapan-Nya,
Tanpa-Nya engkau tak akan
mungkin ada melainkan cahaya yang mengitari-Nya,
Seorang pezina (perempuan
maupun laki-laki) tak kan ada ampunan karena tak bercahaya,
Kecuali kaum liberal yang
kebebasan adalah cahayanya,
Cahaya yang gelap dan
terang hanya persoalan kadarnya,
Hidup yang materialistik adalah
cahaya tanpa ruhani yang terpelihara,
Kecuali engkau bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki diri dari cahaya yang engkau jadikan mahkota,
Alam mikrokosmos hanya
terletak pada fisik manusia,
Dirasakan hanya kasat
mata,
Karenanya ia akan fana,
Alam makrokosmos memiliki
alam semesta dan alam jiwa,
Di dalam Al-qur’an Tuhan
berkata :
“Allah (Pemberi) cahaya
(kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam
kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya
siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS: 24:35)
Cahaya di atas cahaya,
Mulla Sadra merujuk pada
alam jiwa melalui karya al-iIsyarat wa
al-Tanbihat-nya Ibn Sina :
Jiwa rasional dalam
pendakiannya menuju Alam Ilahiyyah, harus melewati beberapa tahapan-tahapan
perjalanan. Dalam memahami pemikiran ini, maka ceruk dapat diartikan sebagai
akal pertama (al-‘aql al-hayulani),
yang karena kegelapan esensinya, meskipun ia dapat menerima cahaya intelektif, tetap
tergantung pada derajat kesiapannya yang berbeda-beda. Kaca dapat diartikan
sebagai akal yang karena kejernihannya maka ia dapat menerima cahaya dengan
lebih baik, sama dengan bintang yang bersinar. Pohon zaitun bermakna fakultas
berfikir (al-quwwat al-fikriyyah,
cogitative faculty) dan refleksi (al-fikr)
karena ia siap menerima cahaya untuk dirinya sendiri. Pohon ini menjadi pohon
yang diberkati karena ia memuat definisi segala sesuatu dan simpulan-simpulan
penjelasan yang benar. Pohon ini tidak di timur dan tidak tidak di barat karena
proses berfikir terjadi di dalam makna universal dan bentuk mental. Di samping
itu, argumentasi rasional tidak bisa dihubungkan dengan baik dengan wilayah
barat wujud indrawi yang material, maupun dengan wilayah timur alam akal-akal
aktif. Adapun minyak (zaitun) menunjukkan intuisi (hads) karena ia lebih dekat ke sumber cahaya di banding pohon zaitun
itu sendiri. Meskipun api, yang disebut Akal Aktif tidak menyentuh minyak
zaitun tersebut, namun seolah-olah minyak zaitun tersebut sudah memancarkan
cahaya untuk dirinya sendiri, itulah karenanya ia disebut dengan akal di dalam
aktualitas. “cahaya di atas cahaya” menunjukkan akal pahaman (al-‘aql al-mustafad) karena
bentuk-bentuk pahaman adalah cahaya dan jiwa yang menerimanya adalah cahaya
yang lain. Demikian juga pelita, karena ia bercahaya dalam esensinya dan tidak
memerlukan cahaya, maka ia adalah akal dalam perbuatan (al-‘aql bi al-fi’l). Akal Aktif membimbing akal dalam perbuatan,
sama dengan api pelita yang ada di dalam ceruk.[1]
Segala penderitaanmu
muncul karena menginginkan sesuatu yang yang tidak mungkin diperoleh tanpa
usaha,
Ketika engkau berhenti
menginginkan, tidak akan lagi ada penderitaan yang terasa,
Rumi berkata :
Di dalam dunia Tuhan,
tidak ada yang lebih sukar daripada memaklumi perkara yang absurd. Sebagai contoh, andaikan engkau telah membaca sebuah buku
dan pembacaan yang kau lakukan benar, juga frasanya. Kemudian seseorang duduk
di sampingmu dan membaca buku yang sama, tapi dia salah membacanya. Mampukah engkau
berdiam diri mendengarkan bacaannya? Tentu saja tidak. Mustahil. Ketika engkau
belum membaca buku itu, -sehingga tidak tahu antara paham yang salah dan yang
benar-tidak akan berbeda bagimu apakah dia membaca dengan baik ataupun salah. Maka,
untuk memaklumi yang absurd, memerlukan
upaya besar. Nabi dan orang-orang suci tidak malu mengemukakan upaya. Upaya pertama
yang mereka lakukan dalam pencarian ialah membunuh diri badaniah dan membuang
gairah syahwat dan hasratnya. Itu merupakan “perjuangan utama”. Ketika mereka
mencapai persatuan dan tempapt mereka dibawa pada jenjang keselamatan, saat
itulah salah dan benar diwahyukan. Meskipun tahu yang benar dari yang salah,
mereka tetap berada dalam perjuangan besar karena seluruh perbuatan orang lain
masih salah. Ini mereka pahami, tetapi mereka memakluminya. Apabila tidak
memaklumi dan terus mengungkapkan kesalahan orang-orang, tidak ada satu orang
pun yang akan hidup bersama dia. Tidak ada satu orang pun yang akan bersikap
sopan pada mereka. Tuhan, pada sisi lain memberi mereka kesabaran agung
sedemikian rupa dan keluasan hati sehingga mereka hanya mengatakan satu dari
ribuan kesalahan agar tidak membuatnya menjadi terlalu sukar. Seluruh kesalahan
mereka abaikan atau bahkan dipuji dan dikatakan bahwa mereka benar. Kemudian,
secara bertahap satu demi satu, mereka mampu memperbaiki seluruh kesalahan.[2]
Hadirnya sesuatu yang
tidak muncul pada khayalan manusia,
Disebut dengan “bakat”
manusia,
Sebaliknya, apa pun yang
hadir melalui khayalan berada pada wilayah cita-cita dan hasratnya.
Bakat manusia akan terus
berjalan sesuai koridornya,
Dan cita-cita dan hasrat
manusia terus berjalan berkelok sesuai keinginannya,
Melalui banyak faktor
cita-cita dan hasrat adalah persoalan potensial yang ada pada diri manusia,
Sebaliknya melalui banyak
pengembangan, “bakat” adalah persoalan perolehan cahaya,
Masihkah kita meragukan
cahaya?
Kalau melihat cahaya
bukan persoalan keinginan manusia,
Melainkan persoalan
kebutuhan yang darinya manusia merasakan kehadiran-Nya.
Nikmatilah cahaya
sebagaimana seorang hamba beribadah kepada Pencipta,
Layaknya umat mengikuti perkataan
dan perbuatan utusan pencipta,
Laksana seorang anak
berkhidmat kepada orang tua,
Laksana menjaga keluarga
adalah salah satu pintu-Nya,
Status sebagai seorang
murid mencerna kisah hikmah gurunya,
Alunan pemerintah terkait
dengan rakyatnya,
Kritiklah pemerintah
selama keadilan itu belum terasa,
Rakyat bukanlah budak
bagi pemerintahannya,
Tapi rakyat adalah
jantung peradaban,
Rakyat yang berperadaban
adalah rakyat yang cerdas dan kritis dengan kebijakannya,
Selama aturan bukan dari
manusia suci selama itu pula ada kekurangannya,
Pendidikan bukan
legitimasi alat pembodohan untuk menjelajah budak Negara,
Bukan apatis, bukan
optimis dan bukan pesimis dengan fakta,
Tapi cahaya yang terbaca,
Akan selalu bersinar bagi
pendamba keadilan melalui perjuangan kaum tertindas dari pemerintahan suatu Negara.
[1]
Sadra, tafsir, p. 164; bandingkan dengan terjemahan Saleh dalam bahasa Inggris,
hal. 153-4. Juga lihat tulisan Ibn Sina sendiri tentang penafsiran ini di dalam
al-isharat wa al-Tanbihat ma’a Sharh Nasir al Din al-Tusi, editor S. Dunya
(Mesir: Dar al-Ma’arif, 1957-1958), vol. 2, hal.364-367. Lebih lanjut dalam
menuju kesempunaan, Persepsi dalam pemikiran Mulla Shadra, diterjemahkan oleh
Dimitri Mahayana dan Mustamin Al-Mandary, safinah, 2003, Makassar, hal. 115-116
[2] Yang
mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya, aforisme-aforisme sufistik Jalaluddin
Rumi, terjemahan dari Signs of The Unseen: The discourses of Jalaluddin Rum
terbitan S. Abdul Majeed & Co, Kuala Lumpur; Malaysia, penerjemah : Anwar
kholid, penyunting : Shophia, pustaka hidayah IKAPI, 2006, Jawa barat, hal.
197-198.
Label:
Puisi
|
0
komentar
Selasa, 14 Juni 2016
Karena hampir setiap diri, seringkali tak bersyukur,
Sehingga, terkadang yang salah selalu dianggap benar,
Melalui banyaknya informasi tanpa nalar,
Membuat manusia melegitimasi ayat suci terbakar,
Label agama menjadi alat untuk menjelajah orang
kafir,
Mungkin juga karena banyaknya pengetahuan tanpa
iringan yang sadar.
Sungguh indahnya semesta dengan alasan yang mendasar,
Bulan ramadhan bukan milik para pendusta dan
penyihir,
Bukan pula para politikus dan koruptor,
Melainkan mereka yang karenanya alam semesta ini
berakar,
Melalui pohon kenabian, kemanusiaan terus mengalir,
Yang dengannya cahaya itu terpancar,
“Yang Tercinta” akan selalu terlihat indah bagi yang
merasa fakir.
Karena puasa bukan hanya persoalan lapar,
Bukan hanya perkara menahan dahaga melalui air,
Tapi, perkara jiwa yang tenggelam menuju kemusnahan
karena terbakar.
Bunga-bunga dan pepohonan tak akan mekar di musim
gugur,
Tapi bulan ramadhan sangat merindukan jiwa manusia
yang mekar,
Sebab, Ramadhan memiliki kemuliaan malam Lailatul Qadr,
Malam yang cahaya itu akan mengakar,
Bukan untuk mereka yang merasa sebagai ahli tafsir,
Untuk merasa diri paling beriman untuk menyatakan
selainnya itu kafir.
Duhai yang mengajak diri tuk terus minum anggur,
Izinkanlah diri tuk merasakan nikmatnya jiwa yang terbakar,
Melalui ruhanimu yang terpancar,
Karena hamba yang ahli dosa belum sadar.
Label:
Puisi
|
0
komentar
Jumat, 03 Juni 2016
(Ilmu hukum
adalah pengetahuan tentang hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya)
Secara formal, saya belum
menyelesaikan program studi S1 ilmu hukum atau bisa disebut dengan belum
memiliki gelar untuk di katakan sebagai ahli dalam bidang ilmu hukum, karena
memang salah satu misi saya yaitu menciptakan suatu karya sebelum menyelesaikan
studi. Tapi, menurut saya “apakah gelar sarjana, magister dsb; dapat menjamin
semakin meningkatnya ilmu pengetahuan seseorang”? mungkin iya karena gelar
tersebut dicapai melalui bangku perkuliahan tapi bukan sebagai satu-satunya,
mungkin salah satu tolak ukur. Dan memang saya selalu bermimpi untuk bagaimana
bisa menciptakan suatu karya sebelum meninggalkan sesuatu yang bisa bermanfaat
di bidang ilmu hukum yang dimulai dari buku ciptaan saya yang pertama
kalinya.
Mungkin, karya
ini sangat mengherankan dari segi judulnya dan sangat abstrak, yang sulit dikonkritkan
dalam bentuk kenyataan dalam masyarakat (law
in action). Tapi, satu hal bahwa mengenai pola pikir hukum secara umum maupun secara khusus
mengenai ‘hukum sebagai
persepsi’ dengan
landasan mengenai hubungan antara sesama penegak hukum dan antara penegak hukum dan masyarakat
melihat hukum yang bergantung dari persepsi manusia memakai kacamata hukum,
perbedaan yang kemudian hadir dalam Bab I tentang definisi hukum yang dikemukakan oleh beberapa
pakar hukum dikarenakan perbedaan persepsi melihat hukum yang hidup dalam
pergaulan masyarakat yang juga cenderung
mendefinisikan
hukum berangkat dari kondisi masyarakat di sekitarnya, makanya kadang suatu
teori hukum tidak dapat diterapkan di masyarakat lainnya sebagaimana menurut
Robert B. Seidmann bahwa “the law of the
non transferability” (hukum tidak dapat dipindahkan begitu saja dari suatu
masyarakat ke masyarakat lainnya).
Dalam Bab II, dibahas tentang ‘hukum
sebagai persepsi’ secara detail. Terkadang penafsiran mengenai hukum itu
yang landasannya adalah suatu persepsi dilatarbelakangi oleh sebuah motif tertentu dan mungkin juga
karena kondisi psikologis yang bertentangan dengan kepentingan
umum, yang selanjutnya menggunakan kata “keadilan” itu harus ditegakkan,
disebabkan oleh persepsi cenderung ke arah yang sifatnya kontradiktif di alam
pikiran. Misalnya, dalam suatu kasus perdata ketika A sebagai pihak yang menang
dalam perkara dan B sebagai pihak yang kalah maka pihak B cenderung berpikir
bahwa dalam penyelesaian perkara tersebut sangat tidak adil dan pihak A
mengatakan bahwa keadilan telah diterapkan di Negara ini, hal ini sangat
dimungkinkan bahwa terjadi perbedaan persepsi hakim dan atau para pihak itu
sendiri. Pro kontra terhadap suatu penafsiran mengenai penegak hukum dalam pola
pikir masyarakat akan selalu terjadi, tetapi apakah secara internal antara
penegak hukum/pejabat Negara telah terjadi kesepahaman melihat hukum? Maka,
pola pikir hukum antara
masyarakat dan
penegak hukum/pejabat Negara mungkin memiliki perbedaan besar memaknai hukum atau
disebut dengan kesenjangan berpikir yang sangat potensial akan terjadinya konflik sosial
dalam suatu Negara menjadi abadi. Sebagai contoh bahwa hadirnya pengadilan itu
meniscayakan keadilan terjadi di dalamnya dan adapun beberapa kalangan yang
beranggapan bahwa pengadilan justru tidak menghasilkan keadilan makanya
penyelesaian sengketa tidak perlu/harus sampai ke pengadilan, entah apakah
karena pernah memiliki pengalaman kalah dalam pengadilan atau terpidana dalam kasus pidana dari
keluarga, tetangga atau kerabat terdekat yang dianggap percaya oleh yang
memahami pengadilan seperti itu.
Dalam Bab III, akan dibahas
tentang wujud hukum, kenapa? Karena, pengadopsian hadirnyasistem hukum hampir dari segi definisi, metodologi, analisis dsb
sehingga subjektivisme hukum mengakar di masyarakat Indonesia yang mungkin
disebabkan oleh sebuah persepsi memaknai hukum sebagai sesuatu yang menciptakan
kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Hal ini semakin
membuktikan bahwa dari pembahasan sebelumnya penafsiran seseorang mengenai
hukum itu sangat bergantung
dari persepsi yang apa yang digunakan oleh penafsir hukum. Bahwa perhatian (attention) dan kesadaran (awareness) menjadi hal yang penting
dalam persepsi. Kemudian jika direnungkan lebih lanjut dari beberapa hal tersebut, maka
pembahasan kali ini saya beranggapan bahwa hukum itu dapat disebut sebagai
suatu persepsi sangatlah penting dalam bidang keilmuan yang dapat digunakan
sebagai suatu teori maupun secara praktis ketika seseorang berargumentasi
mengenai hukum.
Menurut Prof. Dr. Andi Pangerang,
SH, MH, DFM (salah satu guru besar fakultas hukum Unhas), yang memberikan ‘kata
pengantar’ dalam buku ini, bahwa “hukum yang pelajari selama ini di fakultas
hukum seluruh dunia memang bahwa hukum adalah persepsi. Pertanyaannya, apakah
persepsi itu? Menurut saya persepsi adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu
obyek yang didasarkan pada alasan-alasan tertentu, terlepas apakah itu alasan
ilmiah ataupun tidak ilmiah. Tetapi karena buku ini dibuat oleh kalangan
kampus, maka semestinya persepsi itu didasarkan pada argumentasi ilmiah.”
Dan menurut Prof. Dr. Farida
Patittingi, SH., M.Hum (Dekan FH-UH) yang memberikan sinopsis dalam buku ini
bahwa “hukum sebagai persepsi, adalah gagasan penting terkait dengan eksistensi
hukum sebagai ilmu yang multidisipliner. Bagi kaum positivis, hukum adalah
ejaan pasal, ia dilingkupi oleh dinding “kegelapan positivisme”. Hukum tidak
lebih sekedar “tutur kata kekuasaan” melalui undang-undang. Namun, bagi kaum
empiris mereka memandang hukum sebagai dinamika sosial. Hukum tidak boleh
berjarak dengan realitas sosial, karena hukum sejatinya adalah refleksi dari
ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam masyarakat. setiap orang memandang
berbeda mengenai hukum, sehingga berbeda pula cara menyikapinya. Perbedaan ini
dipengaruhi oleh persepsi individu tentang hukum itu. Buku ini mengantar
pembaca untuk mengetahui kenapa persepsi orang tentang hukum berbeda-beda.
Ditulis oleh anak muda brilian, punya reputasi baik dan memiliki kecerdasan
yang mumpuni.”
Tentunya,
pembahasan dalam buku ini yang kemudian penjelasannya sangat dimungkinkan jauh dari
kesempurnaan dan harapan dari pembaca mengingat saya hanyalah seorang mahasiswa
fakultas hukum yang
belum menyelesaikan studi S1 membahas mengenai ilmu hukum yang berjudul “Law
As Perception”. Maksudnya, penulis sangat berharap kritikan yang bersifat definitif maupun argumentatif
sebagai suatu saran baik secara langsung maupun tidak langsung dalam budaya
pengembangan ilmu hukum yang begitu dinamis dan kompleks di kalangan mahasiswa,
aktivis, akademisi,
praktisi, politisi, media, dll. Semoga bermanfaat dan berkah bagi alam semesta.
“Apalah arti sebuah karya tanpa
teori, apalah arti sebuah teori jika tidak berbentuk karya, apalah arti
sebuah pengetahuan tanpa kritik, apalah arti sebuah kritik tanpa pengetahuan
yang mendasar dan apalah arti hukum tanpa memahami sebuah persepsi.”
Untuk pemesanan buku : 082345494415, 08999973343
Line : muhammadsarifnur
Bbm : 5235F888
Twitter : @muhsarifnur
Facebook : muhammad sarif nur
Label:
Hukum & Sosial
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)