Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Diberdayakan oleh Blogger.
Jumat, 26 Juli 2013


           Mungkinkah melakukan perubahan sosial tanpa upaya pelurusan kesalahan berfikir?mustahil ada perubahan ke arah yang benar kalau kesalahan berfikir masih menjebak dalam benak kita. Pengacauan intelektual yang masif dan intensif pada masa orde baru(bahkan sampai kini), merupakan hambatan terbesar dalam upaya melakukan rekayasa sosial. Dalam setiap transformasi sosial yang terjadi dimasyarakat dibutuhkan seorang pemikir yang dapat menggerakkannya. Para pemikir yang mempunyai idea masing-masing tidak hanya mampu melontarkan ide-ide bagi transformasi juga mampu mensosialisasikan buah pikirannya tersebut kepada masyarakat. Sebagai mahasiswa yang mengklaim diri sebagai kaum intetelektual sepantasnya untuk berfikir bagaimana melakukan transformasi diri serta transformasi sosial menuju ke arah yang jauh lebih baik. Untuk mencapai hal tersebut kita sepantasnya menghindari berbagai kesalahan berfikir yang mengakibatkan gagalnya kita dalam berfikir. Berikut kesalahan berfikir tersebut :

 1.Fallacy of Dramatic Instance berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Yaitu, penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Kerancuan berfikir semacam ini banyak terjadi dalam berbagai sosial.  Misalnya :
*Andi adalah mahasiswa Unhas
  Ando adalah mahasiswa Unhas
  Ando adalah mahasiswa yang cerdas
  Jadi, Andi juga mahasiswa yang cerdas
  (karena keduanya mahasiswa Unhas)*
Kadang-kadang, overgeneralisasi terjadi dalam pemikiran kita saat memandang seseorang, sesuatu atau tempat. Padahal, orang itu selalu berubah sehingga hal yang sama tidak bisa kita terapkan pada orang yang sama terus-menerus dan selama-lamanya.

 2. Fallacy of Retrospective Determinism adalah menjelaskan sebagai kebiasaan orang yang menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Cara berpikir ini selalu mengacu pada “kembali ke belakang” atau “historis”. Atau secara jelasnya disebutkan sebagai upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan dalam sejarah masa lalu.
Misalnya, ada suatu masalah sosial yang bernama korupsi di Indonesia. Sebagai orang yang mengatakan : “mengapa  korupsi itu harus diberhentikan sepanjang sejarah korupsi di Indonesia itu ada dan tidak bisa dibasmi. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan bukan untuk menghilangkan korupsi di Indonesia, melainkan meminimalisir korupsi agar terhindar dari dampak-dampak yang tidak diinginkan. Karena, sekali lagi, korupsi itu sudah ada sepanjang sejarah.”
 3. Post Hoc Ergo Propter Hoc dari bahasa latin : post artinya sesudah, hoc artinya demikian; ergo artinya karena itu : propter artinya disebabkan : dan hoc artinya demikian. Singkatnya sesudah itu- karena itu- oleh sebab itu. Jadi,bila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka dapat dinyatakan bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua. Sebagai contoh, ada seorang mahasiswa yang lebih suka dengan bajunya yg berwarna merah dibanding bajunya yang lain hanya karena ketika baju warna merah itu dipakai selalu nilainya  tinggi pada saat final (IP di atas rata-rata) atau IP nya tinggi apabila dia memakai baju yg berwana merah itu. Dulu, waktu dia tidak pernah memakai baju warna merah itu nilai mata kuliahnya (IP) selalu rendah. dan salah satu temannya berkata:  “kalau anda memakai itu baju warna merah selalu mendapatkan nilai IP di atas rata-rata. Dulu, waktu sebelum atau tidak memakai baju yang berwarna merah itu. nilaimu selalu di bawah rata-rata. Nah, baju yang berwana merah itu dikatakan baju yang membawa keberuntungan bila dipakai saat final (baju andalan).

 4. Fallacy of Misplaced Concretness berarti salah letak. Maksudnya adalah kesalahan berpikir yang muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang sebenarnya adalah abstrak. Atau dapat dikatakan sebagai menganggap real sesuatu yang sebetulnya hanya ada dalam pikiran kita. Misalnya mengapa orang Islam secara ekonomi dan politik lemah?mengapa kita tidak bisa menjalankan syariat Islam dengan baik?lalu ada orang menjawab : “kita hancur karena kita berapa pada satu sistem jahiliyah. Kita hancur karena ada thaghut itu adalah dua hal dua hal yang abstrak sehingga jika jawabannya seperti itu, lalu apa yang bisa dilakukan?kita harus mengubah system! Tetapi, “siapa” system itu? System yang abstrak itu kita pandang sebagai sesuatu yang konkret.

 5. Argumentum ad Verecundiam ialah berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu. Ada beberapa orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri.dengan mengutuip suatu peristiwa dalam sirah (perjalanan) Nabi, dia membenarkan paham dan kepentingannya sendiri. Padahal, peristiwa yang dikutipkannya itu belum tentu relevan dengan masalah atau tema yang sedang diperbincangkan.

 6. Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang. Sebagai contoh, di suatu kampung ada yang memelihara ayam. Ayam petelur negeri itu berhasil mendatangkan uang banyak bagi pemiliknya. Melihat itu, dengan serta-merta penduduk kampung menjual sawahnya untuk dijadikan modal bisnis ayam petelur. Akibatnya, semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan dan membanjirnya pasokan barang.

 7. Circular Reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar, menggunakan kesimpulan untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju kesimpulan semula. Misalnya perdebatan tentang rendahnya prestasi intelektual umat Islam di Indonesia. Orang pertama membuktikan konklusi tersebut dengan membandingkan persentase mahasiswa Islam dan non-Islam pada program S2 dan S3. Haslnya, makin tinggi tingkat pendidikan, makin menurun trend kehadiran orang Islam di dalamnya. Padahal, di tingkat sekolah dasar, persentase sis Muslim adalah 95%. Kesimpulannya, umat Islam di Indonesia menduduki posisi intelektual yang rendah. Lalu, orang kedua menyatakan bahwa hal ini terjadi lantaran orang-orang Islam diperlakukan tidak sederajat dengan orang-orang non Islam. Jadi, ada perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Islam. Sampai-sampai , orang-orang Islam serng dicoret dari program-program pendidikan tinggi. Orang pertama menjawab lagi, “orang Islam itu dicoret karena orang meragukan kemampuann intelektualnya. “Dengan jawaban ini, kita kembali pada pokok masalah. Akhirnya, perdebatan itu terus-menerus berputar di sekitar itu.  



referensi : rekayasa sosial - Jalaluddin Rakhmat 

0 komentar: